Setelah beberapa hari di rumah sakit, Aiden mulai merasa lebih baik, meskipun keadaannya masih lemah. Dia terbaring di tempat tidur, dikelilingi oleh keluarganya yang setia menunggu. Meski kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk beraktivitas banyak, ada satu hal yang mengganggu pikirannya.
Dengan suara yang lembut, Aiden memanggil Bunda dan Ayah. “Bunda, Ayah, aku ingin bicara,” katanya, berusaha terdengar tegas meskipun ada rasa lelah yang menghimpitnya.
Bunda dan Ayah segera menghampiri ranjangnya, menatapnya dengan cemas. “Ada apa, Nak?” tanya Ayah, khawatir akan keinginan anaknya.
“Aku ingin kalian pergi berlibur. Bukan hanya kalian, tapi juga Zara dan Asyala,” Aiden berkata, memaksakan senyum di wajahnya. “Aku ingin kalian bersenang-senang, jauh dari semua masalah yang ada di sini.”
“Kenapa kamu ingin kami pergi liburan? Kami justru ingin tetap di sini bersamamu,” Bunda menjawab, air mata mulai menggenang di matanya.
“Aku tahu, tapi justru karena itu. Aku tidak mau kalian terus merasa tertekan di sini. Ini mungkin saat terakhir kita bersama, dan aku ingin kalian mengingatku dengan cara yang bahagia. Nikmatilah hidup kalian,” Aiden menjelaskan, berusaha menjelaskan keinginannya.
Zara yang berdiri di samping Bunda, menatap Aiden dengan sedih. “Tapi Kak, kami tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini,” ujarnya dengan nada penuh harap.
“Aku tidak sendirian. Fauzan akan ada di sini bersamaku. Aku janji, aku akan baik-baik saja. Kalian harus pergi dan menikmati waktu kalian,” kata Aiden, suaranya semakin mantap meski terkendala napas yang berat.
Ayah menghela napas, tampak berpikir keras. “Baiklah, kami akan pergi. Tapi hanya jika kamu berjanji untuk menjaga dirimu dan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan,” jawabnya, akhirnya setuju.
“Bisa kan, Asyala ikut?” tanya Aiden, berharap Asyala bisa menjadi bagian dari kebahagiaan keluarganya.
Asyala yang duduk di sudut ruangan, mendengar semua pembicaraan itu. Dia langsung mendekat dan berkata, “Aku ingin menemanimu di sini, Aiden. Aku tidak bisa pergi jauh darimu.”
“Aku butuh kamu di sisi mereka, Asyala. Jadilah bagian dari kenangan indah mereka, walaupun hanya sebentar. Aku ingin melihat mereka tersenyum, dan itu bisa terjadi jika kamu ada di sana,” Aiden memohon, harapannya terlintas di wajahnya.
Asyala terdiam sejenak, terjebak antara keinginan untuk tetap di samping Aiden dan memenuhi permintaan terakhirnya. “Kalau itu yang kamu mau, aku akan pergi,” jawabnya dengan berat hati.
Aiden mengangguk, merasa lega. “Terima kasih, Asyala. Dan jangan lupa, bawa banyak foto, ya. Aku ingin melihat semua kebahagiaan kalian,” ujarnya, tertegun melihat ekspresi campur aduk di wajah Asyala.
Bunda dan Ayah akhirnya sepakat untuk merencanakan liburan singkat, sambil berjanji untuk tetap terhubung dengan Aiden melalui video call. Mereka menghabiskan waktu menyiapkan segalanya agar Aiden merasa lebih baik.
Sebelum mereka pergi, Aiden memanggil semua anggota keluarganya. “Ingat, meskipun aku tidak bisa ikut, hati kita akan selalu bersatu. Nikmatilah setiap momen, dan ingat bahwa aku mencintai kalian semua,” katanya, menatap mereka satu per satu dengan penuh kasih.
Dengan perasaan campur aduk, keluarganya akhirnya bersiap untuk pergi, dan Aiden berjanji akan menjaga diri di rumah sakit dengan dukungan Fauzan. Sebelum mereka melangkah pergi, Aiden memberi pelukan hangat yang menjadi kenangan terakhir sebelum mereka pergi berlibur.
Dalam hatinya, Aiden berdoa agar perjalanan mereka penuh dengan kebahagiaan, dan agar mereka selalu mengingat cinta dan kebersamaan yang telah mereka bangun bersama.
Setelah berpelukan hangat, keluarga Aiden mulai bersiap untuk pergi. Suasana di ruangan rumah sakit terasa campur aduk—antara harapan dan kesedihan. Asyala berdiri di samping Aiden, merasakan berat di dadanya, tetapi berusaha untuk tegar demi Aiden.
“Jangan khawatir tentang kami, Aiden. Kami akan menjaga diri dan akan sering menghubungimu,” kata Bunda, berusaha menenangkan putranya.
Aiden tersenyum meski ada rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. “Aku percaya pada kalian. Dan jangan lupa, ambil banyak foto! Aku ingin melihat semuanya,” pintanya dengan nada penuh semangat.
“Aku akan mengurus semua detail liburan ini, jadi kamu hanya perlu fokus pada kesembuhanmu,” Ayah menambahkan, merasakan betapa pentingnya ini untuk Aiden.
Setelah semua persiapan selesai, keluarga Aiden berpamitan. Masing-masing anggota keluarga memberikan pelukan terakhir dan kata-kata harapan. Asyala menatap Aiden dengan mata yang penuh rasa sayang, “Aku akan selalu ada untukmu, Aiden. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja.”
“Aku tahu, Asyala. Dan terima kasih telah menjadi teman yang luar biasa,” balas Aiden, merasakan betapa berartinya kehadiran Asyala dalam hidupnya.
Setelah keluarganya pergi, Aiden merasakan kesunyian yang menyelimuti ruangan. Dia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Fauzan datang menghampirinya dengan senyum, “Kamu baik-baik saja, Aiden? Mereka sudah pergi?”
“Ya, mereka sudah pergi. Aku merasa sedikit kesepian sekarang,” jawab Aiden, suaranya terdengar lemah.
“Jangan khawatir, aku di sini untuk menemanimu. Kita bisa nonton film atau main game,” tawar Fauzan, berusaha meringankan suasana.
Aiden tersenyum tipis, “Kamu selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih baik.”
Sementara itu, di luar rumah sakit, keluarga Aiden memulai perjalanan liburan mereka. Zara memegang ponsel, mengabadikan momen-momen ceria, “Kita harus buat Aiden merasa terlibat meskipun dia tidak ada di sini. Ayo, kita kirim foto-foto ini padanya!”
Di dalam rumah sakit, Aiden menerima pesan-pesan dari keluarganya, foto-foto mereka tertawa dan bersenang-senang di tempat wisata. Melihat senyuman mereka membuat hatinya hangat, meskipun dia merasa rindu.
Di malam harinya, saat Aiden berbaring di ranjang, terbayang momen-momen bahagia bersama keluarganya. Dalam pikirannya, dia bertekad untuk sembuh dan bisa kembali ke pelukan mereka. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukan akhir dari segalanya.
Fauzan duduk di sampingnya, menyaksikan Aiden terlarut dalam pikirannya. “Hey, Aiden. Ingat, kamu tidak sendirian. Aku di sini, dan kita akan melalui ini bersama,” ucapnya, mencoba memberikan semangat.
“Aku tahu, Fauzan. Aku merasa beruntung memiliki teman sepertimu. Kita akan berjuang bersama,” Aiden membalas, merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan Fauzan.
Dengan harapan di dalam hati, Aiden menutup matanya, berdoa untuk kesehatan dan kebahagiaan. Dia tahu bahwa meskipun jalan di depannya masih panjang dan berliku, dia tidak akan melaluinya sendirian. Keberanian dan cinta dari orang-orang di sekitarnya menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai.
Di luar sana, keluarga Aiden merayakan kebersamaan mereka, dan Aiden di dalam rumah sakit, merasakan kehangatan cinta yang mengalir meskipun jarak memisahkan mereka. Perjalanan hidup ini mungkin penuh tantangan, tetapi Aiden yakin bahwa harapan dan cinta akan selalu membawanya kembali ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...