Dengan tangan yang gemetar, Aiden mulai menulis suratnya. Suasana di ruangan rumah sakit semakin sunyi, hanya terdengar detak mesin yang menemani kesendiriannya. Dia tahu waktu yang tersisa tidak banyak, dan inilah saatnya untuk mengungkapkan apa yang terpendam di dalam hatinya.
Kepada Bunda, Ayah, Zara, dan Dira,
Terima kasih sudah datang dan menjaga saya di rumah sakit. Walaupun terlambat, saya sangat senang atas kedatangan keluarga kembali. Kehadiran kalian memberi semangat baru untuk terus berjuang.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Asyala dan Fauzan. Kalian selalu ada di sampingku, baik dalam keadaan susah maupun senang, terutama saat saya sakit ini. Meskipun keluarga dulu tidak peduli, saya sangat bahagia memiliki kalian.
Untuk Fauzan, bolehkah saya minta permintaan satu saja? Jika suatu saat saya tiada di dunia ini, tolong jaga Asyala dengan baik. Dia adalah sosok yang sangat berharga dalam hidupku, dan aku ingin dia bahagia. Turuti apa yang diinginkannya, ya?
Asyala sering sekali mengajakku untuk menonton konser di Indonesia, dan sekarang saya minta kamu yang menggantikan posisiku. Nikmatilah momen-momen itu bersamanya.
Saya tahu mungkin kamu tidak pernah menyukai Asyala, tetapi jika suatu saat kamu jatuh cinta padanya, jangan ragu untuk menyatakannya. Aku tidak akan marah.
Cukup segitu. Mohon ikhlaskan saya ya?
Dengan penuh cinta,
AidenAiden menatap surat itu, merasakan haru menyelimuti hatinya. Dia berharap surat ini bisa menyampaikan semua perasaannya kepada orang-orang yang dia cintai. Mungkin dia tidak bisa berada di samping mereka lagi, tetapi semangat dan cintanya akan selalu menyertai mereka.
Setelah selesai, Aiden meletakkan surat itu di atas meja samping ranjangnya, berharap keluarga dan sahabatnya akan membacanya. Dia menutup matanya sejenak, membayangkan masa-masa indah yang telah dilaluinya bersama mereka.
Aiden tahu bahwa semua yang telah dia tulis dalam surat ini adalah harapan terbesarnya untuk masa depan orang-orang tercintanya. Dengan senyuman di wajahnya, dia siap menghadapi apa pun yang akan datang, meyakini bahwa cintanya akan terus hidup di hati mereka.
Aiden menatap keluar jendela rumah sakit, melihat awan mendung bergerak pelan di langit. Dia merasa seolah waktu berlalu sangat cepat, dan hari-hari terakhirnya mulai terasa sangat berharga. Meski fisiknya lemah, semangatnya tetap berkobar. Dia merasakan kehadiran Asyala dan Fauzan yang terus mendampingi, memberikan kekuatan yang sangat dibutuhkannya.
Dalam perjalanan pikirannya, dia teringat momen-momen kecil yang penuh arti. Saat dia dan Asyala tertawa bersama menonton konser, atau saat Fauzan datang membawakan makanan favoritnya. Semua kenangan itu seperti bintang-bintang yang bersinar di kegelapan malam.
Setelah beberapa saat, pintu kamar terbuka. Ibu Aiden, Bunda, melangkah masuk dengan ekspresi cemas. Dia terlihat lebih tua dan lelah, tetapi matanya penuh harapan.
“Aiden, bagaimana perasaanmu?” tanya Bunda dengan suara lembut.
“Masih sama, Bun. Hanya sedikit lelah,” jawab Aiden sambil memaksakan senyuman.
Bunda mendekat dan memegang tangan Aiden. Dia merasakan kehangatan dari genggaman itu, tetapi di saat yang sama, hatinya terasa berat. Dia merasa bersalah karena selama ini tidak sepenuhnya ada untuk Aiden.
“Maafkan Bunda, nak. Bunda seharusnya lebih peduli,” ucap Bunda dengan suara bergetar. Air mata mulai mengalir di pipinya.
Aiden menggeleng. “Bunda, sudah tidak apa-apa. Saya mengerti. Saya senang kalian ada di sini sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Roman pour AdolescentsAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...