Beberapa hari setelah percakapan mereka yang mendalam, Asyala terus memantau keadaan Aiden dari jauh. Dia selalu memastikan Aiden tidak merasa sendirian, walaupun Aiden sendiri tetap berusaha menjaga jarak agar tidak merepotkan Asyala. Namun, hubungan mereka mulai berubah. Kini ada rasa saling ketergantungan yang lebih dalam, dan Asyala tidak pernah ragu untuk berada di sisi Aiden, apapun yang terjadi.
Suatu pagi, ketika Asyala sedang dalam perjalanan menuju kampus, ponselnya berdering. Nama Fauzan tertera di layar. Dengan cepat, Asyala mengangkatnya, firasat buruk langsung menghantamnya.
"Asyala, Aiden masuk rumah sakit lagi," suara Fauzan terdengar tegang di seberang sana. "Dia pingsan lagi. Kondisinya makin menurun."
Hati Asyala berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengubah arah, memutuskan untuk langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, perasaan cemas dan takut membanjiri dirinya. Dia tidak pernah membayangkan Aiden akan berada di titik ini, namun kenyataan ini terlalu nyata untuk diabaikan.
Di ruang rumah sakit, Aiden terbaring di ranjang, wajahnya masih terlihat lemah. Fauzan duduk di sebelahnya, menatap Aiden dengan cemas. Ketika melihat Asyala datang, Fauzan berdiri dan memberi ruang untuknya. Asyala mendekat ke Aiden, matanya berkaca-kaca.
"Aiden," panggil Asyala lembut. Aiden membuka matanya perlahan, tampak lelah, tapi matanya berbinar saat melihat Asyala.
"Kamu... datang lagi," suara Aiden terdengar serak namun penuh rasa terima kasih.
"Tentu saja aku datang. Aku nggak akan biarkan kamu menghadapi ini sendiri," jawab Asyala, berusaha menahan air matanya.
Fauzan berdiri di dekat pintu, memberi isyarat kepada Asyala bahwa dia akan meninggalkan mereka berdua. "Aku keluar dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung panggil aku," kata Fauzan sebelum keluar dari ruangan.
Setelah Fauzan pergi, Asyala duduk di tepi tempat tidur Aiden, menggenggam tangan Aiden dengan lembut. Ia merasakan dinginnya tangan Aiden, seolah seluruh energi pria itu sudah habis tersedot oleh penyakit yang semakin menggerogoti tubuhnya.
"Aiden, kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau kondisimu seburuk ini?" tanya Asyala dengan suara yang bergetar.
Aiden menunduk, terlihat menyesal. "Aku nggak mau kamu khawatir, Asyala. Aku... aku pikir bisa menanganinya sendiri. Tapi ternyata... semua ini jauh lebih sulit dari yang aku bayangkan."
Asyala menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya yang sedang berkecamuk. "Aku tahu kamu nggak mau merepotkan orang lain, tapi kamu nggak harus menanggung semuanya sendirian, Aiden. Aku di sini. Aku akan selalu di sini."
Aiden tersenyum tipis, meskipun terlihat jelas ada rasa lelah di wajahnya. "Aku tahu, dan aku berterima kasih untuk itu, Asyala. Tapi aku nggak tahu sampai kapan aku bisa kuat menghadapi ini."
Kata-kata Aiden membuat dada Asyala terasa sesak. Dia menatap wajah Aiden yang semakin pucat dan lingkar hitam di bawah matanya yang semakin terlihat jelas. Namun, di tengah rasa khawatirnya, Asyala merasakan dorongan kuat untuk tidak menyerah.
"Kamu pasti bisa, Aiden. Kita akan hadapi ini sama-sama. Aku nggak akan pergi kemana-mana," jawab Asyala dengan suara yang penuh tekad.
Aiden menatapnya, matanya berkilat-kilat penuh rasa syukur. "Kamu benar-benar nggak pernah menyerah ya, Asyala?"
"Tidak," jawab Asyala tegas. "Dan aku nggak akan biarkan kamu menyerah juga."
Mereka terdiam sejenak, saling menatap satu sama lain. Asyala tahu bahwa perjalanan ke depan akan penuh dengan tantangan, namun dia juga yakin bahwa dia tidak akan meninggalkan Aiden, apapun yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Teen FictionAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...