Bab 21: Pertanyaan Aiden

11 7 0
                                    

Aiden duduk di sofa apartemennya sambil memainkan gelang kulit yang dibelikan Asyala di Korea. Pikirannya mengembara, memikirkan berbagai momen yang mereka lalui bersama. Saat itu, terdengar ketukan pelan di pintu. Aiden segera bangkit dan membuka pintu, mendapati Asyala berdiri di depan dengan senyum tipis.

"Masuklah, Sa," ajak Aiden sambil memberinya jalan.

Asyala masuk dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Aiden memerhatikannya sejenak sebelum mengajukan pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak tadi.

“Kenapa tiba-tiba manggil saya Aiden dengan nama ‘Kak’? Tumben, biasanya kamu cuma manggil nama saja,” tanya Aiden, mencoba bersikap santai meski ada rasa ingin tahu yang besar.

Asyala tersenyum canggung dan memainkan ujung rambutnya. “Saya kemarin-kemarin nggak tahu bahwa kamu usianya di atas saya. Saya pikir kita seumuran. Baru tahu kalau ternyata kamu 21 tahun, sedangkan saya masih 19 tahun. Jadi pas saya cari tahu, ya, saya pikir lebih sopan manggil ‘Kak’.”

Aiden tertawa kecil, mendengar penjelasan Asyala yang polos. “Ah, jadi gitu. Lucu juga kamu baru tahu sekarang. Tapi nggak masalah, panggil apa saja yang kamu nyamanin.”

Asyala tersipu, tapi kemudian ia menatap Aiden dengan lebih serius. “Sebenarnya, nggak cuma soal umur. Aku mulai sadar kalau aku banyak ngerepotin kamu, Kak. Aku terus minta bantuan, baik soal tugas maupun hal lainnya, padahal aku tahu kamu juga punya masalah sendiri.”

Aiden terdiam sejenak sebelum menjawab. “Nggak usah merasa begitu, Sa. Aku senang bisa bantu kamu. Dan lagipula, aku juga butuh seseorang untuk diajak ngobrol dan berbagi. Mungkin kita memang banyak belajar satu sama lain.”

Asyala mengangguk, merasakan kehangatan dari kata-kata Aiden. Ia tahu, meskipun Aiden berusaha terlihat kuat, ada banyak beban yang disembunyikannya.

“Makasih, Kak,” ujar Asyala pelan. “Aku akan lebih berhati-hati dan nggak terus-menerus ngerepotin kamu.”

Aiden tersenyum lembut, menepuk bahu Asyala dengan pelan. “Kamu nggak pernah merepotkan. Lagipula, bukankah kita sudah dijodohkan? Itu artinya, kita harus saling dukung.”

Asyala tersenyum kecut mendengar kata-kata Aiden. “Tapi aku tahu kamu nggak suka perjodohan ini. Kita berdua nggak suka.”

Aiden mengangguk. “Ya, benar. Tapi, kita lihat saja bagaimana ke depannya. Aku masih berharap bisa menentukan jalanku sendiri.”

Malam itu, obrolan mereka berlangsung lebih ringan meskipun di balik percakapan santai itu ada banyak perasaan yang belum terungkap. Aiden dan Asyala kini lebih memahami posisi masing-masing, dan tanpa mereka sadari, hubungan mereka semakin erat.

Asyala menggigit bibirnya, tampak berpikir sejenak. “Kak, tentang perjodohan ini... Apa kamu benar-benar merasa terpaksa?”

Aiden menghela napas. “Aku tidak terpaksa, tapi situasinya cukup rumit. Keluargaku ingin aku menikah dengan seseorang yang mereka pilih, dan aku merasa sulit menolak. Tapi di sisi lain, aku tidak ingin mengabaikan perasaanku.”

Asyala menatap Aiden, merasakan kedalaman perasaannya. “Kamu masih mencintai mantanmu, kan?”

Aiden terkejut mendengar pertanyaan itu. “Mungkin. Tapi itu bukan alasan untuk tidak terbuka pada perasaan baru, terutama terhadapmu.”

“Kalau kamu mencintaiku, bagaimana kalau kita mencoba mengubah perjodohan ini? Kita bisa bilang kepada orang tua kita bahwa kita tidak saling cocok,” usul Asyala dengan penuh harapan.

Aiden tersenyum tipis. “Mungkin itu terdengar mudah, tapi keluargaku sangat menghargai tradisi. Jika kita menolak, bisa jadi akan ada konsekuensi yang lebih besar.”

Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang