Pagi itu, langit masih gelap ketika Aiden Bhayangkara keluar dari rumah. Hari ini adalah hari yang berbeda dari biasanya, karena ia memutuskan untuk mengantar Asyala ke sekolah sebagai bentuk dukungan ekstra. Selama beberapa minggu terakhir, mereka telah membuat kemajuan, dan Aiden merasa penting untuk menunjukkan dukungan lebih dalam bentuk tindakan.
Setelah menjemput Asyala di depan rumahnya, Aiden melihat Asyala berdiri dengan ransel yang tampak berat di pundaknya, siap berangkat ke sekolah. Namun, ekspresi di wajah Asyala menunjukkan ketidaksenangan. Ia mengangkat tangan sebagai isyarat untuk menghentikan langkah Aiden.
“Aiden, terima kasih sudah datang, tapi aku bisa pergi sendiri,” kata Asyala dengan nada tegas, meskipun ia tampak canggung.
Aiden merasa sedikit tersinggung. “Aku hanya ingin membantumu. Kamu bilang sebelumnya bahwa perjalanan ke sekolah seringkali melelahkan. Lagipula, aku sudah berjanji untuk mendukungmu. Lagipula, aku juga ingin memastikan kamu sampai dengan selamat.”
Asyala memutar matanya dan menghela napas panjang. “Aku tidak mau terlihat seperti anak yang dibantu terus-menerus. Orang-orang akan berpikir aku tidak bisa mandiri.”
Aiden merasa frustasi. “Ini bukan tentang menunjukkan kepada orang lain. Ini tentang aku ingin membantumu dengan cara apa pun yang aku bisa. Kamu tahu, kita semua butuh bantuan dari waktu ke waktu.”
Asyala tetap bersikeras. “Aku menghargai tawaranmu, tapi aku benar-benar ingin melakukan ini sendiri. Aku butuh merasa bisa mengatasi semuanya tanpa bantuan orang lain.”
Mendengar kata-kata Asyala, Aiden merasakan campuran antara pengertian dan kekecewaan. Ia memahami keinginan Asyala untuk mandiri, tetapi juga merasa kecewa karena usahanya untuk mendukung Asyala tampaknya tidak diterima.
“Baiklah,” kata Aiden akhirnya, “aku menghargai keinginanmu untuk mandiri. Tapi ingatlah, jika kamu berubah pikiran atau butuh sesuatu, aku di sini untukmu.”
Asyala tersenyum tipis, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Aiden. Aku akan ingat itu.”
Setelah berpisah, Aiden memandangi Asyala yang berjalan menuju gerbang sekolah, merasakan campuran rasa puas dan cemas. Ia tahu bahwa Asyala berjuang dengan berbagai tantangan, dan meskipun ia menghargai keinginannya untuk mandiri, Aiden berharap bahwa dukungannya tidak akan dianggap sia-sia.
Sepanjang hari, Aiden terus memikirkan interaksinya dengan Asyala. Ia menyadari bahwa terkadang, dukungan tidak selalu harus berupa tindakan langsung. Kadang-kadang, memberikan ruang untuk orang yang kita bantu juga merupakan bentuk dukungan yang penting.
Ketika matahari terbenam dan hari mulai berakhir, Aiden merasa lebih memahami posisi Asyala. Ia tahu bahwa proses ini tidak hanya tentang mengajarkan pelajaran tetapi juga tentang memahami kebutuhan dan keinginan individu. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, Asyala akan merasa cukup nyaman untuk menerima bantuan tanpa merasa terbebani oleh pandangan orang lain.
Aiden pulang dengan semangat baru, menyadari bahwa perjalanannya dengan Asyala masih panjang. Meskipun mereka mungkin mengalami beberapa benturan di sepanjang jalan, ia yakin bahwa perjalanan mereka akan membuahkan hasil yang memuaskan, baik bagi Asyala maupun dirinya sendiri.
Meskipun Aiden merasa lega karena Asyala akhirnya bisa pergi ke sekolah dengan kemauannya sendiri, rasa cemasnya tidak sepenuhnya hilang. Ia memutuskan untuk menghabiskan waktu sejenak di kafe terdekat untuk meresapi situasi yang baru saja terjadi. Sambil menikmati kopi pagi, Aiden merenungkan bagaimana ia bisa lebih baik mendukung Asyala tanpa mengganggu rasa mandirinya.
Selama beberapa hari berikutnya, Aiden berusaha memberi Asyala ruang yang dia butuhkan, tetapi tetap tersedia jika dia memerlukan bantuan. Ia mulai memperhatikan perubahan kecil dalam sikap Asyala—seperti ketertarikan yang sedikit lebih besar saat mereka belajar bersama dan kehadirannya yang lebih aktif dalam diskusi. Meskipun Asyala masih terkadang menunjukkan sikap enggan, Aiden merasa ada kemajuan yang patut dicatat.
Pada hari Jumat sore, ketika mereka berdua duduk di taman kota setelah sesi belajar, Aiden memutuskan untuk berbicara dengan Asyala tentang insiden pagi itu.
“Asyala, aku ingin tahu bagaimana perasaanmu setelah kejadian kemarin,” tanya Aiden dengan lembut.
Asyala memandang ke arah taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Sebenarnya, aku merasa sedikit canggung setelah kau pergi. Aku tahu kau hanya ingin membantu, tapi aku merasa harus bisa melakukan semuanya sendiri.”
Aiden mengangguk. “Aku mengerti. Kadang-kadang, kita memang merasa perlu untuk membuktikan bahwa kita bisa mandiri. Tapi ingatlah, meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan. Itu hanya bagian dari proses belajar dan tumbuh.”
Asyala menatap Aiden dengan ekspresi yang lebih lembut. “Aku tahu. Dan aku benar-benar menghargai semua usaha dan dukunganmu. Aku hanya merasa takut terlihat tidak mampu.”
Aiden tersenyum. “Kami semua pernah merasa seperti itu. Yang penting adalah kita terus berusaha dan belajar dari pengalaman kita. Jika ada sesuatu yang bisa aku bantu, jangan ragu untuk memberitahuku.”
Asyala tersenyum kembali. “Terima kasih, Aiden. Aku akan ingat itu. Aku tahu kadang aku terlihat sulit, tapi aku sebenarnya menghargai bantuanmu. Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri.”
Sore itu, Aiden dan Asyala menikmati waktu bersama dengan percakapan yang lebih ringan dan penuh tawa. Mereka berbicara tentang rencana akhir pekan dan berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Keduanya merasa lebih dekat dan saling memahami.
Saat matahari mulai terbenam, Aiden merasa bahwa meskipun perjalanan mereka mungkin penuh dengan tantangan, hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang berarti. Asyala mulai menunjukkan kepercayaan diri yang lebih besar dalam kemampuannya, dan Aiden merasa bangga melihat kemajuan tersebut.
Ketika mereka berpisah, Aiden merasa optimis tentang masa depan. Ia menyadari bahwa peran sebagai mentor tidak hanya tentang mengajarkan pelajaran, tetapi juga tentang membangun hubungan yang saling mendukung dan memahami.
Dengan hati yang penuh harapan, Aiden melangkah pulang, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dalam perjalanannya bersama Asyala. Ia tahu bahwa proses ini tidak akan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa dengan kesabaran dan dukungan, mereka akan mampu menghadapi apa pun yang datang di depan.
- BERSAMBUNG -
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...