Keesokan harinya, Aiden bangun dengan rasa segar. Suara burung berkicau dan aroma pagi yang sejuk membuatnya merasa lebih baik. Namun, saat ia mencoba bangkit dari tempat tidur, rasa lelah dan nyeri di tubuhnya kembali muncul. Ia mengingat perasaannya semalam di depan api unggun dan bertekad untuk tidak membiarkan sakit itu mengganggu kebersamaan mereka.
Asyala sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan sederhana di luar tenda. Saat melihat Aiden, wajahnya bersinar. "Kak, selamat pagi! Aku sudah menyiapkan pancake. Aku harap ini enak!"
Aiden tersenyum, berusaha menampakkan semangat. "Pancake? Wah, itu favoritku!"
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk menjelajahi sekitar lokasi berkemah. Aiden berusaha untuk bergerak dengan semangat meskipun tubuhnya terkadang memberikan sinyal bahwa ia perlu istirahat. Asyala, yang menyadari Aiden sedikit lebih lamban, berusaha menjaga pace agar tidak terlalu cepat.
Mereka berjalan menyusuri jalur setapak yang dikelilingi pepohonan. "Lihat, Kak! Ada air terjun kecil di depan!" teriak Asyala, berlari menuju suara gemericik air.
Ketika mereka sampai di air terjun, Aiden terpesona oleh keindahan alam yang menyegarkan itu. Namun, saat ia mencoba mendekat, kakinya sedikit terpeleset di atas batu licin. Dalam sekejap, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh.
"Asyala!" Aiden berteriak, berusaha meraih sesuatu untuk menahan jatuhnya.
Asyala segera berlari dan menangkap tangan Aiden sebelum ia terjatuh sepenuhnya. "Kak! Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan cemas, wajahnya pucat.
"Aku... aku baik-baik saja," jawab Aiden, berusaha tersenyum meskipun napasnya sedikit terengah. Namun, rasa sakit di perutnya kembali terasa.
Asyala memperhatikannya dengan khawatir. "Kamu harus hati-hati! Jika ada yang tidak beres, kita bisa kembali ke tenda."
Aiden mengangguk, merasa bersalah karena harus membuat Asyala khawatir. "Maafkan aku. Mari kita nikmati tempat ini sejenak."
Mereka duduk di tepi air terjun, menikmati pemandangan. Aiden merasakan ketenangan dan keindahan alam yang mengalir. Namun, pikirannya tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang mengganggu.
Setelah beberapa saat, Aiden merasa lebih baik dan mereka memutuskan untuk kembali. Namun, saat mereka berjalan kembali ke tenda, Aiden merasa semakin lelah. Asyala melihatnya dan menghentikan langkah. "Kak, kita perlu istirahat. Kamu terlihat tidak enak badan."
"Aku baik-baik saja," Aiden berusaha meyakinkan, tetapi suara lelahnya membuat Asyala ragu.
"Ini bukan tentang 'baik-baik saja'. Ini tentang kesehatanmu. Kita bisa beristirahat lebih lama," tegas Asyala.
Aiden merasakan hati kecilnya tergerak oleh perhatian Asyala. "Baiklah, kita akan beristirahat."
Mereka kembali ke tenda dan Aiden berbaring, sementara Asyala menyiapkan beberapa camilan. "Kak, aku tahu kamu ingin kuat, tapi tidak apa-apa untuk merasa lemah sesekali. Kita semua manusia."
Aiden menatap Asyala, terharu. "Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku merasa seperti aku harus kuat untuk kita berdua."
"Asyala tersenyum lembut. "Kamu sudah kuat. Mengakui bahwa kamu butuh bantuan adalah kekuatan tersendiri. Jangan ragu untuk memintaku, ya?"
Selama beberapa jam, mereka beristirahat di tenda. Aiden berusaha mengumpulkan energinya, sementara Asyala menemaninya dengan cerita-cerita lucu dan pengalaman hidupnya. Ia bahkan menunjukkan beberapa trik memasak yang membuat Aiden tertawa.
Malam tiba, dan Aiden merasakan semangatnya kembali. Mereka kembali ke api unggun, di mana Asyala mengambil alih untuk memanggang sosis dan jagung. "Kamu bisa menikmati makanan ini tanpa khawatir," katanya sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...