Setelah liburan yang penuh dengan momen-momen berharga di Korea, Asyala dan Aiden harus kembali ke realita. Meskipun mereka membawa pulang kenangan manis, tanggung jawab dan masalah yang selama ini mereka hadapi tetap menunggu.
Sesampainya di rumah, Asyala langsung disibukkan dengan pekerjaan dan kuliahnya. Namun, pikirannya tetap tertuju pada Aiden. Dia masih khawatir tentang kesehatan Aiden, meskipun Aiden berusaha untuk tidak membicarakannya terlalu banyak selama perjalanan mereka. Rasa penasaran dan kekhawatiran Asyala semakin besar, tetapi dia memilih untuk menunggu sampai Aiden siap berbicara.
Sementara itu, Aiden kembali ke rutinitasnya, tetapi kesehatannya semakin memburuk. Setiap hari rasanya semakin sulit, tetapi dia terus menyembunyikannya dari orang-orang di sekitarnya. Meskipun liburan ke Korea memberi sedikit jeda, penyakit autoimun yang menyerang ginjalnya sudah semakin parah.
Suatu hari, Aiden merasa tubuhnya semakin lemah, tetapi dia tetap bersikeras untuk menjalani aktivitasnya seperti biasa. Saat sedang bekerja di kantor, tiba-tiba Aiden merasa pusing. Kepalanya berdenyut kencang, dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Dia berusaha bertahan, tetapi pandangannya semakin kabur hingga akhirnya dia pingsan di depan meja kerjanya.
Kabar tentang Aiden pingsan langsung sampai ke telinga Fauzan, yang segera datang ke rumah sakit. Di sana, dokter memberitahu bahwa kondisi Aiden sudah semakin parah, dan dia membutuhkan perawatan lebih intensif. Aiden sudah tidak bisa lagi menunda pengobatan serius jika ingin selamat.
Fauzan merasa bimbang, di satu sisi dia ingin menghormati keinginan Aiden yang belum siap untuk memberi tahu Asyala atau keluarganya tentang kondisi sebenarnya. Di sisi lain, dia tahu bahwa Aiden membutuhkan dukungan lebih dari sekadar dirinya.
Di rumah sakit, saat Aiden mulai sadar, Fauzan mencoba bicara serius dengannya. "Aiden, ini sudah nggak bisa lagi kamu simpan sendiri. Asyala perlu tahu. Keluargamu juga. Kamu butuh mereka, lebih dari apa yang kamu kira."
Aiden menatap Fauzan dengan tatapan lelah. "Aku nggak mau mereka khawatir. Apalagi Asyala. Kita baru aja mulai bangun hubungan yang baik. Aku nggak mau semua berubah karena ini."
Fauzan menghela napas panjang. "Tapi kalau kamu nggak cerita, mereka akan tahu dengan cara yang lebih menyakitkan. Apalagi kalau kondisi kamu makin buruk."
Aiden diam. Kata-kata Fauzan masuk ke dalam pikirannya, tetapi dia tetap sulit untuk membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang dia sayangi jika mereka tahu betapa parahnya kondisinya sekarang.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Asyala mulai merasakan ada yang aneh. Aiden terlihat semakin sering menghindarinya. Meskipun mereka masih berkomunikasi, Aiden mulai menjauh secara emosional. Hal ini membuat Asyala merasa ada sesuatu yang tidak diberitahukan padanya.
Akhirnya, pada suatu malam, Asyala memutuskan untuk mengunjungi Aiden di apartemennya. Saat tiba di sana, dia melihat Aiden yang terlihat sangat lelah, dengan kantung mata yang jelas menunjukkan bahwa dia kurang tidur. Asyala tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelah bekerja.
“Kak, kenapa kamu makin hari makin kelihatan lemah?” tanya Asyala, mencoba membuka pembicaraan dengan hati-hati.
Aiden berusaha tersenyum, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan kenyataan yang ada. “Aku baik-baik aja, Asyala. Jangan terlalu khawatir.”
Asyala menatapnya tajam. “Kamu nggak bisa terus-terusan ngomong begitu. Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Kak, aku di sini untuk kamu. Kalau ada apa-apa, bilang aja.”
Saat itu, Aiden merasakan dinding yang selama ini dia bangun mulai runtuh. Dia menatap Asyala, yang masih berdiri di sana dengan tatapan penuh perhatian dan kekhawatiran. Akhirnya, dia tidak bisa lagi menahan semuanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiden Bhayangkara (Proses Terbit)
Ficção AdolescenteAiden Bhayangkara, mahasiswa Manajemen yang dulunya berasal dari jurusan IPA, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dengan cara ini. Ketika ia ditugaskan sebagai mentor untuk Asyala, seorang siswi SMA yang dikenal dengan sifat malasnya, Ai...