Hampir gila mengikuti standar manusia sempurna
•Laut Untuk Langit•
Langit sore itu abu-abu, seakan turut merasakan beban yang Jenia bawa dalam hatinya. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki lorong rumah sakit, suara detak jantung mesin yang monoton menyambutnya. Suara sepatu yang menyentuh lantai terdengar begitu asing, seakan jarak antara dirinya dan kamar Noan semakin menjauh.
Pintu kamar Noan terbuka dengan pelan, mengungkap pemandangan yang sudah begitu familiar namun tetap membuat dada Jenia sesak setiap kali melihatnya. Noan terbaring di atas ranjang rumah sakit, tubuhnya dikelilingi oleh selang-selang yang menghubungkannya pada kehidupan yang kini begitu rapuh. Matanya tertutup rapat, seolah berada dalam dunia lain yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun. Wajahnya tenang, namun keheningan yang menyelimuti ruangan itu lebih menyakitkan daripada teriakan paling keras sekalipun.
Jenia duduk di kursi di sebelah ranjang Noan, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali mengunjungi sahabatnya itu. Namun, hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Beban yang ia rasakan semakin tak tertahankan, rasa lelah yang menggerogoti setiap sudut jiwanya. Ia memandangi wajah Noan yang tenang, berharap ada reaksi, sekecil apa pun itu, tapi semuanya tetap sunyi. Hanya suara mesin yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tapi semuanya tetap sama.
"Noan..." suara Jenia terdengar serak, hampir berbisik. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin kamu udah bosen dengerin cerita ini, tapi kali ini... kali ini beda."
Jenia menunduk, memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Namun, rasa sakit di dadanya terlalu besar untuk diabaikan.
"Aku capek, Noan. Beneran capek," suaranya bergetar, dan air mata pun mulai jatuh, satu per satu, membasahi pipinya yang pucat. "Hidup ini... terlalu berat buat aku."
Jenia meraih tangan Noan yang terkulai di samping ranjang, menggenggamnya dengan lembut. "Aku nggak tahu kenapa kamu harus mengalami ini semua, kenapa kamu harus tidur selama ini, tanpa ada yang bisa aku lakuin buat bantu kamu. Dan aku nggak tahu berapa lama lagi bisa kuat kayak gini."
Ia terdiam sejenak, memandang tangan Noan yang terasa begitu dingin di genggamannya. "Dulu, aku selalu percaya bahwa setiap orang punya batas, bahwa ada titik di mana kita semua harus menyerah. Tapi, entah kenapa, aku nggak bisa nyerah, Noan. Aku terus berharap, berharap kamu bangun, berharap semua rasa sakit ini hilang. Tapi semakin berharap, semakin aku merasa hancur."
Tangan Jenia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. "Semua orang bilang kalau waktu yang akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu cuma bikin semuanya semakin menyakitkan. Aku ngerasa kehilangan diri aku sendiri, Noan. Aku ngerasa kosong, nggak ada lagi yang tersisa buat aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT UNTUK LANGIT
Romance"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...