LUL | 17

793 91 11
                                    

Cobalah untuk membuka lembaran baru,
Siapa tahu bahagiamu ada disitu

•Laut Untuk Langit•

"Kenapa Mama nggak ajak Jenia juga?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa Mama nggak ajak Jenia juga?"

Jenia melamun, memainkan tanah makam Rania. Kesedihan merasuki dadanya, meninggalkan kehampaan yang menusuk. Air matanya sudah menumpuk tapi ia tahan mati-matian. Rania tidak akan menyukainya.

Di kejauhan, seseorang memandangnya lama. Wajah sendu Jenia menyentil hatinya. Ia tahu seperti apa rasanya kehilangan orang yang dicintainya, karena kini ia juga sedang mengunjungi makam ibundanya. Ethan hendak melangkah menyapa Jenia tapi kakinya seolah tertanam di tanah. Jarak keduanya tidak terlalu jauh, tapi seolah ada jurang besar yang menghalanginya untuk mendekat ke tempat Jenia.

Jurang perasaan bersalah.

Ethan masih mematung bahkan setelah Jenia pergi dari sana. Mengepalkan tangannya di dalam saku celana, Ethan mengumpulkan keberanian untuk mendatangi makam itu.

Rania Candrawati.

Nama indah itu terpampang di batu nisan. Ia mengingat wajah yang pernah sekali ditemuinya itu dengan ingatan masa kecilnya. Meski samar, ia bisa membayangkan wajah itu cantik seperti Jenia, dengan kelembutan dan ketegasan. Ethan tersenyum ketika wajah Jenia melintas di kepalanya, sekaligus membuatnya merasa hambar berkali-kali lipat.

"Kamu ngapain di sini?"

Ethan terperanjat mendengar suara itu. Suara yang dikenalnya.

Mampus.

Jenia pasti akan marah padanya, merasa malu seolah ia tertangkap basah sedang mencuri. Ethan berdiri, berbalik menghadap Jenia.

"Balik lagi?" tanyanya sembari melayangkan senyum.

Sekilas Ethan bisa melihat wajah sendu yang disembunyikan Jenia. Rasanya mereka semakin kikuk dan asing. Obrolan mereka memang tidak pernah berlangsung panjang, tapi kali ini terasa asing berkali-kali lipat. Seolah ada jurang di antara keduanya.

Jenia memutuskan pandangan, menunjuk kunci yang tertinggal di samping makam. Ethan mengangguk paham, mengambil kunci itu dan menyerahkannya pada Jenia.

"Makasih."

Percakapan keduanya semakin canggung, seolah memaksa berhenti saja karena tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ethan mengepalkan tangannya. Ia ingin menahan Jenia di sini lebih lama lagi. Selama ini, ia kesulitan berbicara dengan Jenia. Mungkin ini adalah waktu yang pas untuk berbicara.

"Sorry, gue kunjungin Tante Rania tanpa izin dulu ke lo."

"Ini pemakaman umum. Aku nggak punya hak buat larang."

Ethan bisa melihat ketidaknyamanan Jenia karena cewek itu terus-terusan memainkan jarinya.

"Gue minta permohonan maaf ke Tante Rania karna terus-terusan nyakitin perasaan anaknya. Kira-kira dia mau maafin gue nggak ya?"

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang