"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jenia membuka matanya perlahan, disambut oleh silau yang membuatnya mengerjap-ngerjapkan kelopak mata. Tubuhnya terasa remuk, seakan dihantam ribuan batu, sementara kesadarannya kembali perlahan, bersama ingatan yang perlahan menyesakkan dadanya. Ia ingat, ia dan Noan mengalami kecelakaan. Ketika hendak turun dari ranjang untuk mencari Noan, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Arya dengan wajah yang pucat pasi.
Apakah ayahnya datang untuk mengkhawatirkannya? Hati Jenia sedikit menghangat, namun harapan itu cepat meredup ketika Arya berbicara.
"Jenia, Papa mohon, bantu Kanaya sekali ini saja." Suara Arya terdengar parau, matanya yang tampak lelah seolah memohon tanpa kata.
Kepala Jenia masih berdenyut hebat, rasa pusing terus menjalari pikirannya. Tenggorokannya terasa kering, haus. Namun, kata-kata Arya menampar kesadarannya, membawa rasa sakit yang tidak bisa ia hindari.
"Kanaya butuh kantong darah, dan cuma kamu yang golongan darahnya sama seperti Kanaya," lanjut Arya dengan nada mendesak. Wajahnya tampak lelah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama kekurangan tidur.
Belum sempat Jenia merespons, pintu kembali terbuka, kali ini menampilkan sosok Ethan yang wajahnya tegang, penuh amarah yang ditahan.
"Bantu Kanaya sekali ini aja, Jenia. Semua ini terjadi karena lo dorong Kanaya jatuh dari tangga," suara Ethan menggema di ruangan itu, memotong napas Jenia.
Jenia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa itu bukan salahnya. Tapi tubuhnya begitu lemas, seakan seluruh kekuatannya telah hilang bersama kejadian yang telah menimpa mereka. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Jenia berbisik, "Aku bakal tepati janji itu." Matanya menatap kosong ke arah Ethan dan Arya.
"Kalau sewaktu-waktu Kanaya butuh jantung, datang aja ke aku. Aku bakal kasih tanpa pikir dua kali," lanjutnya lirih, pernyataannya terhantam oleh keheningan yang mencekam.
Jenia akan menepati janjinya, meski hatinya hancur berkeping-keping. Ia rela memberikan darahnya, meski rasa sakit yang lebih dalam menyayat batinnya. Yang membuatnya terpuruk adalah kenyataan pahit bahwa tak seorang pun peduli dengan kondisinya, tak ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja. Mereka hanya datang untuk meminta, bukan untuk memastikan dirinya selamat.
Jenia menahan air mata yang hampir jatuh, merasa dirinya tenggelam dalam kesedihan dan kekecewaan yang tak tertahankan. Di tengah segala kelelahan dan penderitaan, Jenia hanya ingin satu hal—pengakuan, bahwa dirinya pun berhak diperhatikan, bahwa dirinya juga layak untuk dicintai.