LUL | 13

538 125 32
                                    

Jangan nyapa lagi ya,
Aku udah sejauh ini buat sembuh

Laut Untuk Langit

Jenia membiarkan embusan angin menyapu rambutnya dengan lembut, sementara matanya terpesona oleh langit yang cerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jenia membiarkan embusan angin menyapu rambutnya dengan lembut, sementara matanya terpesona oleh langit yang cerah. Sudah dua hari sejak dia meninggalkan rumah sakit, dan selama itu pula dia sengaja menghindari pertemuan dengan Ethan.

"Kalau besok masih terbit matahari, janji lo nggak bakal menyerah sama hidup ya."

"Jenia?"

Panggilan Noan membuyarkan lamunan Jenia. Dia menoleh ke arah Noan yang tampak sedih. Keduanya duduk di atas gedung, menjauh dari keramaian. Tempat itu menjadi tempat mereka bertemu, karena meskipun sekolah mereka terpisah, tinggi tembok pemisah memungkinkan Noan menyeberang dari atap SMA Manggala ke SMA Adyatama. Setiap istirahat, Noan selalu menunggu Jenia di sana.

Kembali ke kenyataan, Jenia terdiam, meremas-remas tangannya.

"Lupain Ethan. Dia udah nyakitin lo berkali-kali."

"Aku harus bilang apa ke Mama Tiffany? Aku udah janji bakal jaga dia."

Noan menghela nafas.

"Kadang egois itu perlu Jenia. Lo nggak harus bahagiain semua orang."

"Bukan soal bahagiain semua orang, Noan. Mama Tiffany bakal hancur kalau denger aku lepas Ethan. Kondisinya udah buruk, aku nggak mau nyakitin lebih dalam."

Noan hendak membantah, heran dengan kebaikan hati Jenia, tapi urung ketika ponselnya berbunyi. Dia segera mengangkat panggilan tersebut, membatalkan niatnya untuk menegur Jenia. Saat selesai berbicara, Noan kembali dengan wajah tegang, meninggalkan Jenia yang masih terpaku menatap pagar pembatas di depannya, tanpa rencana jelas untuk menyelesaikan masalahnya.

"Gue harus pergi."

"Mau kemana?" Tanya Jenia, namun kehilangan sudah merayap dalam nadanya.

"Tawuran."

Jenia terdiam, pandangannya turun ke tanah.

"Lo nggak marah kan?"

Jenia masih diam, hatinya terasa kosong, tak berdaya untuk menghentikan Noan.

"Kenapa marah? Aku nggak punya hak buat ngelarang kamu," ucap Jenia lirih.

Noan menghela napas, kebingungan melanda pikirannya. Dia tak bisa membaca pikiran Jenia. Dalam kondisinya yang baru keluar dari rumah sakit, dia merasa ragu meninggalkan Jenia sendirian.

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang