"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
Jika waktu bisa diulang, banyak sekali orang yang tidak ingin aku kenal.
•Laut Untuk Langit•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jangan mentang-mentang lo saudara sama Kanaya, lo bisa seenaknya. Lo pikir gue takut sama Kanaya?" kata Zea, suaranya penuh kemarahan.
"Kalau kalian ada masalah sama Kanaya, selesaikan sama dia. Aku nggak tau apa-apa," sahut Jenia menatap langsung mata mereka berdua.
Tatapan tajam Jenia membuat keduanya semakin murka, terutama Zea. Dengan gerakan tiba-tiba, Zea merebut lembar tugas yang dibawa Jenia dan melemparkannya ke dalam tempat sampah.
Zea mendorong tubuh Jenia hingga tersudut di tembok, sedangkan Alsava sengaja melempar kaleng minumannya yang tersisa seperempat ke kepala Jenia.
"Nggak ada yang suruh buat lo ngomong tolol," ucap Zea tajam, menyentak dahi Jenia keras dengan telunjuknya. Membuat Jenia semakin tersudut.
"Lo itu banyak kurangnya. Kalaupun lo mati sekalipun nggak ada yang peduli, bokap lo juga bakal usir lo kan?" ejek Alsava, sambil tertawa.
Tiba-tiba, Ethan, yang baru selesai mengajukan proposal, tak sengaja melihat kegaduhan itu. Ia terkejut melihat Jenia di tengah-tengah mereka, basah oleh perlakuan kasar mereka. Ethan perlahan menyadari sesuatu, bahwa Jenia menjadi sasaran bully oleh Alsava dan Zea.
"Ethan?" Zea tiba-tiba melihat Ethan, lalu melepaskan cengkeramannya pada Jenia. Ia merasa sedikit terancam, karena Ethan merupakan ketua OSIS, dan jika tindakan buruk ini diketahui olehnya, maka akan ada konsekuensi serius.
Alsava melempar tatapan tajam. "Ngapain kesini? Ini bukan tempat yang wajar buat murid teladan kayak lo," cemooh Alsava, mencoba mengintimidasi Ethan.
Namun Ethan tidak memberikan reaksi apapun dan hanya memandang sejenak sebelum pergi.
***
Pulang sekolah, Jenia melewati gang kecil yang sudah menjadi rutinitasnya. Hari itu, suara gaduh gerombolan pemuda tiba-tiba mencapai telinganya dari belakang. Dengan hati berdebar, ia memutuskan untuk melangkah lebih cepat, berharap bisa menghindari mereka. Tidak ingin terlibat dalam masalah apa pun.
Namun, ketika ia memasuki gang sempit yang dinding nya penuh dengan grafiti, Jenia tiba-tiba melihatnya lagi. Cowok itu, yang ia temui kemarin di sekolah Albara. Tapi kali ini, pemandangan itu membuatnya terdiam. Wajah cowok itu tidak lagi galak seperti sebelumnya. Darah mengalir dari lengan cowok itu, menciptakan jejak merah di jalan batu yang gelap.
Jenia terbelalak, jantungnya berdebar kencang. Apakah ia harus membantu cowok itu atau mencari pertolongan? Pilihan berat itu melayang dalam pikirannya, dan dia menyadari bahwa takdir keduanya telah saling terkait dalam detik-detik mendebarkan yang akan datang.