LUL | 31

130 22 5
                                    

"Kadang pulang itu bukan tentang rumah,
tapi tentang hati yang sudah nggak
punya tempat."

•Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jenia masih termenung, tatapannya kosong, meskipun pikirannya terus berputar. Sosok Ethan begitu nyata dalam benaknya, suaranya begitu dekat tadi. Namun ketika ia membuka mata, tidak ada siapa-siapa di sana. Ke mana Ethan pergi? Apa benar dia yang ia dengar? Ataukah hanya bayangan masa lalu yang terus menghantuinya?

“Noan, aku tadi…,” gumamnya pelan, tapi tiba-tiba terhenti. Ia tak ingin membuat Noan khawatir lagi. Kenapa dia harus menceritakan ini? Bukankah Noan sudah cukup terbebani dengan kondisinya sendiri?

Noan yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Jenia, merasa ada sesuatu yang salah. Wajah Jenia terlihat lebih pucat, matanya lebih suram. Ia menggeser sedikit tubuhnya, mencoba untuk duduk lebih tegak meskipun rasa sakit masih menyengat di sekujur tubuhnya.

“Jenia, lo kenapa?” tanya Noan, matanya penuh dengan kecemasan.

Jenia hanya menggeleng pelan, mencoba mengabaikan perasaan itu. Tangannya sedikit bergetar, namun ia menyembunyikannya dengan meremas ujung bajunya. “Nggak apa-apa, Noan. Aku cuma capek.”

Noan tidak yakin, tapi ia juga tak ingin memaksa Jenia bercerita. Namun, ada sesuatu yang mengganjal, rasa tak tenang yang semakin besar. Ia bisa merasakan ada beban yang Jenia coba sembunyikan.

“Kalo ada apa-apa, bilang ke gue, ya,” kata Noan akhirnya, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran. Ia tahu Jenia tidak akan berbicara jika tidak siap, tapi itu tidak membuat rasa cemasnya berkurang.

Jenia hanya tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Ia memalingkan wajah ke jendela, kembali memikirkan sosok Ethan yang seolah muncul dan menghilang dalam sekejap. Hatinya terasa semakin berat.

***

Sementara itu, di sudut kota yang lain, Ethan berdiri di bawah pohon besar di tepi jalan. Hujan rintik-rintik jatuh di sekitarnya, membasahi tanah yang becek dan dingin. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena cuaca, tapi juga karena perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya.

Selama ini, ia menyadari bahwa keputusannya telah melukai banyak orang—terutama Jenia. Setiap kenangan bersama gadis itu kembali menghantam pikirannya seperti badai yang tak pernah berhenti. Senyum Jenia, tawa ringannya, juga tangisnya. Semua tergambar jelas di benaknya, dan itu semakin membuatnya terpuruk.

Namun, yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Jenia. Kanaya berdiri di depannya, sosok yang selalu mencoba masuk ke dalam kehidupannya, meski ia tak pernah benar-benar memberikan ruang.

"Kita harus bicara," suara Ethan serak, hampir tertelan oleh suara hujan yang mulai deras.

Kanaya menatapnya, matanya tajam, seperti biasa. Tapi ada kilatan emosi yang lebih kuat di dalamnya—keinginan untuk mengerti, keinginan untuk memenangkannya.

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang