LUL | 32

16 3 0
                                    

"Mungkin kita memang ditakdirkan
cuma jadi cerita singkat."

•Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Ethan berdiri di ujung koridor sekolah, menatap jauh ke depan dengan tatapan kosong. Janji itu terngiang di benaknya, seolah menjadi bayangan yang tak bisa ia hindari, menempel erat di benak dan hatinya. Di tengah sunyi yang menggantung, hatinya terasa berat—seperti memikul sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang membelenggu jiwanya. Ia berjanji, pada dirinya sendiri, akan menjauhi Jenia… dan juga Kanaya.

“Mulai sekarang, lo nggak bakal lihat gue lagi di hidup lo…” bisiknya lirih pada bayangan Jenia yang hanya ada di ingatannya. Janji itu adalah ikatan yang ia buat, meski dengan harga yang harus ia bayar sendiri—meninggalkan, dan mencoba melupakan.

Hari-hari berlalu, dan di sekolah, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkan Ethan dari dua nama itu. Setiap kali langkahnya mendekat ke arah mereka, nalurinya seakan menjerit, mengarahkan tubuhnya ke jalan lain. Ia memilih untuk berlalu, menghindar, dan tenggelam dalam rutinitas yang seharusnya bisa membuatnya lupa—tapi justru semakin menekankan betapa dalamnya luka yang ia coba sembunyikan.

***

Ethan melangkah ke lapangan belakang, di mana Yohan dan Abraham terjebak dalam adu skill bola basket. Peluh menetes deras dari wajah mereka, menciptakan garis basah yang mengalir di kulit mereka yang terpapar sinar matahari. Semangat yang menyala dalam permainan mereka terasa kontras dengan suasana hati Ethan yang kelabu.

"Woy, S-Ethan! Lo dateng mau ngerusak suasana ya? Udah gitu bawa pikiran suram?” seru Yohan, suaranya menyentuh nada mengolok.

"Bjir! Mulut lo, Han," Abraham tertawa, jelas menikmati reaksi kesal yang tergores di wajah Ethan. Senyum lebar menghiasi bibirnya, seakan menikmati setiap detik dari momen ini.

Ethan mendengus, matanya berputar malas. “Lo nggak cape nyindir, Han? Setiap ketemu lo, omongannya sama mulu. Kangen apa gimana?” Suaranya mengalir penuh kebosanan, menolak terjebak dalam permainan kata-kata yang tak berujung.

“Lagian, muka lo nggak enak banget diliat," sindir Yohan, sambil menggeser tubuhnya ke samping, meraih botol air mineral yang terletak di pinggir lapangan.

Ethan mengerutkan dahi, mengabaikan candaan Yohan. “Gue datang ke sini buat main, bukan buat dengerin lelucon busuk lo pada.”

Dengan gerakan cepat, Ethan mengambil bola basket, memantulkannya di lantai seolah mengusir rasa malas yang menderanya. Ia berlari kecil, dan dalam sekejap, bola itu melesat masuk ke ring dengan sempurna.

Yohan mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah. “Tenang, Than, kita di sini cuma buat bikin lo tambah misuh-misuh. Itu namanya bonding—ikatan pertemanan.”

Yohan mengangkat alisnya, mendorong suasana menjadi lebih hangat. “Kenapa jantung lo berdetak?” Ia bertanya, ingin tahu apa yang ada di dalam pikiran Ethan.

Namun sebelum Abraham sempat menjawab, Yohan melanjutkan, “Karena kalo nggak berdetak, gue dapet nasi kotak.”

“Gelap banget,” kata Abraham, sedikit terkejut dengan permainan kata yang mendadak absurd.

“Gue punya satu lagi,” Yohan menambahkan, tak ingin berhenti.

Ethan masih asyik memainkan bola saat Yohan memulai lelucon lain. Abraham bergabung, menghentikan waktu istirahatnya yang sudah lebih dari cukup, sementara Yohan masih duduk, tampak bersemangat.

"Roti, roti apa yang suka nyuri?" Yohan bertanya, menyilangkan tangan dengan gaya menghipnotis.

Ethan menatapnya, bingung sekaligus skeptis. “Gue nggak tahu, apa?”

"Jambread," Yohan tertawa terbahak-bahak, seakan menemukan harta karun di tengah leluconnya sendiri.

Abraham ikut terkekeh, tetapi Ethan hanya menggelengkan kepala, merasa dorongan ingin melempar Yohan dengan bola basket di tangannya semakin kuat. “Gue lebih pengen denger lo ngelawak tentang kehidupan lo yang sepi, Han. Itu jauh lebih lucu.”

Yohan pura-pura tersinggung, menyilangkan tangan di dada. “Gue itu menghibur lo, tapi lo malah nyindir. Kapan lagi lo bisa dapet pelajaran soal humor dari orang sehebat gue?”

Abraham menahan tawa, “Iya, Than. Dengerin si Yohan ini, mungkin dia bisa daftar ke ajang pencarian bakat komedi. Pasti langsung disuruh keluar sebelum audisi selesai.”

Ethan memutar matanya, merasa sebal. “Kalau lo jadi komedian, Han, gue jamin orang-orang bakal kabur sebelum lo mulai ngomong.”

"Anjir!" Yohan mengumpat, tak bisa menahan tawa yang terlepas.

Ia segera bergabung dengan Ethan dan Abraham, menyudahi waktu istirahatnya. Dalam sekejap, ia merebut bola basket dari tangan Ethan, menendangnya dengan cara yang sangat terampil, seolah itu adalah trik dalam permainan sepak bola.

"Gunanya apa skill begitu?" Ethan menantang, merasa tertekan oleh tingkah laku Yohan.

"Mayan bisa ditaruh di LinkedIn," jawab Yohan dengan cengiran bangga.

"Kampret!"

Sejenak, dalam kekacauan riuh rendah suara bola basket memantul dan tawa yang menggema di lapangan, Ethan merasa seolah semua beban yang menggerogoti hatinya bisa terlupakan.

***

Jenia duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke depan. Angin sore berhembus pelan, membawa serta daun-daun kering yang berguguran di sekelilingnya. Di kejauhan, ia melihat Ethan bermain basket di lapangan, pembawaannya seperti biasa—tenang, mantap, tapi kali ini terasa lebih jauh. Bukan hanya jarak fisik yang memisahkan mereka, tapi juga sesuatu yang lebih dalam, lebih menyakitkan.

Ethan benar-benar menepati janjinya. Janji yang pernah ia ucapkan dalam keheningan, saat dunia seakan runtuh di antara mereka. Janji untuk menjauh, untuk menghilang dari hidup Jenia. Dan kini, setiap hari yang berlalu, jarak itu semakin nyata, semakin tak terjangkau.

Jenia mengingat momen itu, saat Ethan menatapnya dengan mata yang penuh luka, namun tegas.

“Mulai sekarang, lo nggak bakal lihat gue lagi di hidup lo,” katanya, dengan suara yang rendah, hampir seperti bisikan.

Jenia tahu, Ethan tidak sedang bercanda. Ia serius, dan ia menepati setiap kata yang ia ucapkan. Sejak hari itu, mereka seolah hidup di dunia yang berbeda, meskipun langkah mereka masih menapaki lantai sekolah yang sama.

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang