"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ketika bangun, Jenia pergi ke dapur dan mendapati makanan di atas meja masih utuh. Dia melirik garasi yang memisahkan garasi dengan ruang tengah dengan kaca. Motor yang dikendarai Ethan tadi malam sudah kembali, artinya cowok itu sudah pulang.
Ia terkejut ketika mendengar suara erangan dari kamar Ethan. Jenia ragu untuk pergi ke sana, tetapi kemudian dia memutuskan hanya mengetuk pintu dan bertanya. Setelah itu, dia akan pergi.
"Ethan?"
Jenia mengetuk pintu kamar Ethan, tetapi tidak ada sahutan.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan perasaan yang khawatir.
"Pergi! Kan udah gue bilang bangsat, jangan masuk daerah gue!" teriakan Ethan terdengar dari dalam, penuh kemarahan.
Teriakan Ethan dari dalam terdengar. Jenia mengangguk dalam hati, mengutuk kenapa dengan bodohnya ia mau repot-repot kesini. Meskipun Ethan terdengar marah dan menolak kedatangannya, Jenia merasa bahwa sesuatu tidak beres dan dia tidak bisa hanya pergi begitu saja.
Jenia berbalik hendak pergi, tetapi sebelum ia benar-benar pergi, ia mendengar suara pecahan kaca terjatuh ke lantai. Kepanikan dalam dirinya semakin memuncak, dan tanpa berpikir lebih panjang, instingnya langsung keluar dan membuka kamar Ethan yang tidak terkunci.
Jenia memekik ketika melihat Ethan terjatuh ke lantai dengan jam weker yang ikut jatuh juga sehingga kacanya remuk. Banyak pecahan kaca berserakan di sekitar cowok itu, yang hanya diam.
"Keluar! Gue bilang keluar!" Teriak Ethan sembari marah, menunjuk pintu dengan telunjuknya mengusir Jenia. Namun, Jenia merasa terlalu cemas untuk menghiraukan perintah tersebut. Sesuatu yang serius harus terjadi, dan ia tidak akan meninggalkan Ethan begitu saja.
"Keluar, Jenia!"
"Tangan kamu berdarah, Ethan!"
Ethan tetap diam, memandang telapak tangannya yang meneteskan darah, menciptakan titik-titik merah di lantai. Ia baru menyadari luka itu.
"Jangan peduliin gue. Lo berangkat sekolah kan, Jenia?" Suara Ethan mulai melunak, tidak sekeras tadi. Cowok itu memegang kepalanya yang berdenyut, menghembuskan napas panjang sembari memejamkan mata. Ia tidak punya energi untuk bertengkar.
"Obati dulu luka kamu," ucap Jenia, mengambil kotak P3K yang tersedia di apartemen. Saat kembali ke kamar Ethan, cowok itu masih terduduk di lantai.
"Pergi, Jenia. Biarin gue sendiri," erang Ethan dengan suara marah dan penuh penolakan.
Jenia menyapu pecahan kaca yang tersebar di sekitar area itu dan berhati-hati membersihkan luka Ethan dengan alkohol, membuatnya mengerang karena perih. Kemudian, Jenia membalut luka itu dengan kain kasa, karena panik tadi, ia tidak menyadari ada yang tidak normal dengan Ethan.