"Tunggu gue cape ya. Nanti nggak bakalan
ada yang ganggu lo lagi."•Laut Untuk Langit•
Siang itu, hawa sekolah terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyimpan sesuatu yang kelam di balik setiap sudutnya. Jenia melangkah di lorong dengan kepala tertunduk, menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Sesampainya di kelas, Jenia langsung merasakan tatapan-tatapan tajam yang menembusnya dari setiap sudut ruangan. Senja berdiri di depan kelas, wajahnya tegang, dikelilingi oleh teman-teman sekelas yang dipenuhi rasa ingin tahu. Jantung Jenia berdetak semakin cepat, firasat buruk mulai menghinggapinya.
"Apa yang kamu cari, Senja?" tanya seorang siswi dengan nada penuh rasa penasaran.
Senja menoleh, matanya penuh kepanikan. "Kalung gue hilang," ucapnya pelan, namun cukup keras untuk terdengar oleh seluruh kelas. "Kalung pemberian ibu gue, dan terakhir gue lihat itu masih ada di dalam tas gue."
Bisikan-bisikan yang tadinya samar kini berubah menjadi riuh, menyebar cepat seperti api yang menyambar dedaunan kering.
Jenia menatap Senja dengan ekspresi tak percaya. "Kamu yakin nggak lupa naruh?"
Senja menggeleng dengan tegas. "Nggak, Jenia. Gue beneran taruh di dalam tas. Lo lihat sendiri tadi, kan?"
Tatapan-tatapan di kelas semakin tajam, seakan-akan Jenia telah divonis bersalah sebelum ada bukti yang jelas.
Seseorang menyeletuk, "Coba geledah tasnya Jenia tuh. Dia tau tempat Senja naruh kalungnya."
Jenia hendak menolak, merasa tak bersalah. Namun, seorang siswi lebih dulu mengambil tasnya dan mengeluarkan isinya hingga berhamburan ke lantai.
Sebuah benda asing terjatuh di antara buku-buku yang berserakan.
"Ini kalung lo?" tanya salah satu dari mereka dengan nada tuduhan yang jelas.
Senja terperanjat melihat benda itu. "Jenia, kenapa lo ngelakuin ini ke gue?"
"Bukan aku, Senja. Aku nggak ngambil apa-apa."
"Tapi kalung itu ada di dalam tas lo." Celetuk seseorang, memicu keriuhan lebih besar di kelas.
Jenia tertegun, hatinya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ia tidak pernah menyentuh barang milik Senja, apalagi mencurinya. Namun, tampaknya semua orang di kelas sudah memutuskan untuk mempercayai bukti yang belum jelas itu.
Salah satu teman sekelas yang ikut mengerubungi Senja menambahkan, "Jenia, kenapa lo nggak bilang kalau lo butuh duit atau sesuatu? Nggak perlu nyolong."
Ucapan itu terasa seperti pukulan telak bagi Jenia. Seluruh kelas terdiam menunggu responsnya. Dengan napas tersengal, Jenia menggeleng kuat. "Aku nggak nyuri apa-apa. Kalian semua salah paham."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT UNTUK LANGIT
عاطفية"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...