"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
"Seneng bisa kenal kamu, tapi Lebih seneng lagi kalau kita nggak kenal."
•Laut Untuk Langit•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ethan berdiri di ambang pintu, rasa bersalah yang membebani langkahnya. Seolah-olah beban dosa itu mencekiknya, ia hanya mampu menatap Jenia dari balik kaca pintu, merasa keberanian melangkah semakin jauh dari genggaman.
"Jam kunjung pasien hampir berakhir, Kak. Setelah ini pasien akan disuntik obat penenang," ujar perawat dengan dingin, menambah lapisan berat di dadanya. Dentuman sesak menghantui ruangannya, meragukan apakah ia mampu mengungkapkan penyesalan yang terpendam.
Perawat melangkah pergi, meninggalkan Ethan dalam keheningan. Ia menarik napas dalam-dalam, meraih handle pintu dengan gemetar. Sudah terlalu lama ia berdiri di ambang, saatnya untuk menghadapi Jenia, meski keraguan memayungi hatinya.
Pintu terbuka, menghentikan denyut keraguannya. Ethan membawa buket bunga aster putih, tetapi bahkan keindahan bunga itu tak mampu mengembalikan kehangatan yang hilang di antara mereka.
Ethan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya terpaku pada wanita di hadapannya, yang kini tampak rapuh dan terisolasi. Rasa bersalah merayap di setiap sudut pikirannya. Ia ingin memperbaiki segalanya.
"Jenia," desis Ethan pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan
"Maaf." Suara mereka bersatu, menciptakan ketidaknyamanan yang tak terucapkan.
"Maafin gue, Jenia." Suara Ethan penuh dengan penyesalan, rahangnya terasa kaku, tangannya menggenggam erat, menyaksikan senyum Jenia yang terkesan tidak menyadari kehancuran di hati Ethan.
"Than, kamu nggak salah," kata Jenia dengan kebaikan hati yang mengiris hati Ethan.
"Nope, gue yang salah. Gue yang udah buat lo kayak gini. Gue nggak berhenti buat lo menderita, gue..." Suara Ethan terhenti oleh beban kesalahannya yang tak terlukis dalam kata-kata.
Jenia meraih tangan gemetar Ethan, merasakan getaran yang mengalir dalam kebingungan. "Aku yang bodoh, harusnya aku nggak ngelakuin itu. Waktu itu aku cuma mikir cara buat ngilangin rasa sakit itu."
"Gue jahat, gue kasar, gue nggak pernah mikirin perasaan lo," bisik Ethan, suaranya hampir hilang dalam angin kesedihan.
"Lo berhak marah ke gue, caci gue sepuas lo. Siksa gue sama kayak yang gue lakuin ke lo, apapun yang lo minta bakal gue lakuin."
"Than." Tangan Jenia yang diperban mengarahkan dagu Ethan, meminta agar matanya menatap langsung ke dalam mata Jenia.
"Kalo lo minta gue buat, gue janji bakal lakuin apapun yang lo minta."