LUL | 25

262 45 9
                                    

Yang selalu ngalah juga bisa cape

Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Pah, aku mau pindah."

Kata-kata itu keluar dari bibir Jenia dengan nada yang nyaris tak terdengar. Hatinya terasa berat, seolah dunia telah menekan seluruh hidupnya ke dalam satu titik kecil yang hampir tidak bisa ia nafas.

"Apa? Kamu nggak serius, kan? Sebentar lagi lulus, Jenia. Nggak usah buat masalah baru," ucap Arya dengan nada tegas, namun ada kelelahan dalam suaranya. "Papa nggak minta kamu juara, tapi tolong jangan tambah beban dengan permintaan aneh-aneh seperti ini."

"Pah! Satu bulan itu lama!"

Tas sekolah Jenia jatuh ke lantai, menciptakan suara yang memecah keheningan. Emosinya meluap, ia sudah tidak sanggup lagi. Setiap hari terasa seperti perang. Di sekolah, ia selalu jadi sasaran-dianggap tidak ada saat diam, tapi dipermalukan saat mencoba bersuara. Seolah-olah dirinya hanyalah objek, tanpa hak untuk merasakan apapun.

"Cuma satu bulan, Jenia! Kamu pikir pindah sekolah nggak butuh biaya? Adikmu, Kanaya, masih butuh pengobatan. Papa kerja dari pagi sampai malam, tapi uang tetap nggak cukup buat biayain rumah sakit. Kamu harus ngerti kondisi kita." Suara Arya yang awalnya tegas kini melemah, hampir berbisik, sembari memijit pangkal hidungnya yang mulai berkeringat. Usia menambah beban di pundaknya, memperumit segala masalah yang datang silih berganti.

Kata-kata Arya menghantam Jenia, membuatnya terdiam sejenak. Di kepalanya, bayangan ibunya yang telah tiada muncul, mengingatkannya akan setahun penuh duka yang belum juga pudar. Kehilangan, kesakitan, dan penderitaan datang tanpa permisi, memaksa semuanya terjadi begitu cepat, begitu tak terduga.

"Maafin Jenia, Pah."

Arya hanya bisa menghela napas panjang. "Sudahlah, sekarang kamu istirahat saja di kamar. Maaf, Papa belum bisa kasih apa yang kamu mau."

Jenia mengangguk pelan, menuruti kata-kata ayahnya. Langkahnya terasa berat saat menaiki tangga, satu per satu. Hatinya dipenuhi rasa putus asa yang tak terkatakan. Setelah memberi salam perpisahan yang nyaris tanpa suara, ia menutup pintu kamar di belakangnya. Ruangan itu gelap, dibiarkan begitu oleh Jenia. Cahaya matahari yang masuk dari celah-celah tirai menjadi satu-satunya penerangan, namun tidak mampu menembus kegelapan di dalam hatinya.

Saat itulah, di antara keheningan dan bayang-bayang, Jenia membuat keputusan.

Satu bulan.

Ia akan mencoba bertahan selama satu bulan lagi.

***

Dalam keheningan yang menyesakkan, Jenia merasakan dirinya berubah, menjauh dari sosok yang dulu dikenal banyak orang. Kepribadian hangatnya telah lenyap, terkikis oleh kenyataan yang terlalu pahit untuk diterima. Yang tersisa hanyalah serpihan masa lalu yang mengeras menjadi perisai dingin, melindungi hati yang pernah rapuh. Kini, kelembutan telah mati, digantikan oleh ketidakpercayaan pada dunia yang ia sadari begitu kejam. Setiap lapisan ketidakpedulian yang ia bangun menjadi benteng yang kokoh, melindungi dirinya dari luka yang sama, namun juga menjauhkannya dari cinta yang pernah ia rasakan.

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang