LUL | 33

7 4 1
                                    

"Mungkin di tempat lain, kita bisa lebih baik. Tapi sayangnya, bukan di sini."

•Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Koridor itu dipenuhi keheningan yang mencekam, seolah setiap langkah Ethan menorehkan jejak badai yang membekukan waktu. Tatapan-tatapan tajam mengikuti langkahnya, menghujam seperti panah beracun yang tak kasat mata. Ia berjalan dengan kepala tegak, namun di balik ketenangannya, dadanya bergemuruh penuh pertanyaan dan amarah yang tertahan.

Begitu pintu ruang OSIS terbuka, udara di dalam seolah mengental, berat dan pengap. Suara bisikan terhenti, digantikan oleh keheningan yang lebih pekat. Semua mata tertuju padanya, memandang dengan sorot penuh tuduhan dan ketidakpercayaan. Ethan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski jantungnya berdebar kencang.

"Lo kemanain dana kegiatan Osis bulan lalu?" Raka membuka percakapan dengan nada yang menusuk, dingin dan penuh perhitungan. Suaranya menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sempit.

Ethan berdiri kaku, rahangnya mengeras. Matanya menelusuri wajah-wajah di sekitarnya yang menatap dengan ekspresi penuh tuduhan. "Maksud lo apa?" Suaranya rendah, tapi penuh dengan tekanan yang terpendam.

"Hentiin sandiwara lo, Ethan. Kita semua tahu dana itu hilang, dan lo yang pegang. Jangan pura-pura bego deh," seseorang menyambung dengan suara yang lebih tajam, mencoba memojokkan Ethan.

Kata-kata mereka seperti pisau yang menyayat, setiap tuduhan meninggalkan luka yang dalam. Ethan mencoba tetap tenang, tetapi kemarahan di dalam dirinya semakin membara. Dia melangkah maju, menatap mereka dengan mata yang berkilat-kilat penuh amarah.

"Lo nuduh gue tanpa bukti, emang lo pikir gue bakal terima aja? Atau mungkin kalian yang ngelakuin dan sekarang mau ngelempar kesalahan ke gue?" Ethan berkata, suaranya datar namun tajam seperti pedang yang baru diasah. "Kalau lo punya bukti, kasih liat. Kalau nggak, lebih baik diem."

Ruangan itu mendadak hening. Kata-kata Ethan menggantung di udara, berat dan penuh makna. Wajah-wajah yang tadi menuduh kini tertunduk, terdiam di bawah tatapan Ethan yang dingin dan penuh tantangan. Tanpa menunggu jawaban, Ethan berbalik, keluar dari ruangan dengan langkah cepat, meninggalkan mereka yang terdiam membisu.

Tapi amarah di dalam dirinya belum mereda. Setiap detik yang berlalu, setiap tatapan curiga yang masih ia rasakan di punggungnya, membuat api dalam dirinya berkobar lebih besar. Dan harapan bahwa gosip itu akan mereda seketika musnah.

Keesokan harinya, bisikan-bisikan di koridor berubah menjadi gelombang yang menghantam keras. Desas-desus semakin membesar, meluas seperti api yang menjalar tanpa henti. Ethan berusaha keras mengabaikan, tetapi tiap kalimat yang beredar di udara seperti belati yang terus-menerus menusuk hatinya.

Saat ia tiba di kelas, pemandangan yang ia lihat membuat darahnya mendidih. Mejanya penuh coretan—kata-kata hinaan dan tuduhan yang ditulis dengan kasar, mencoreng nama dan reputasinya. Tangannya mengepal erat, rahangnya menggertak. Tanpa pikir panjang, ia menendang meja itu hingga terbalik, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Semua orang di kelas terdiam, terkejut oleh ledakan emosinya yang tiba-tiba. Ethan menatap mereka satu per satu, matanya menyala dengan kemarahan yang membara.

"Nggak cukup ya lo semua ngomongin gue di belakang? Sekarang lo pada main ancem?" Suaranya rendah tapi penuh dengan amarah yang membuncah.

Suasana di kelas berubah menjadi mencekam. Tak ada yang berani bersuara, tak ada yang berani menatap matanya. Ethan menghela napas panjang, mencoba mengendalikan amarah yang memuncak. Tapi dalam hatinya, luka itu semakin dalam, mencabik-cabik tanpa ampun. Dia sudah lelah—lelah dengan semua tuduhan, lelah dengan semua bisikan, dan lelah harus bertarung sendirian.

***

Jenia memperhatikan Ethan dari kejauhan, matanya tak lepas dari sosok yang kini terasa begitu asing. Dulu, Ethan adalah pusat keramaian—sosok yang disegani dan dipuji, selalu dikelilingi teman-teman. Namun sekarang, ia hanya melihat bayangan samar dari sosok yang pernah ia kenal, seolah warna-warni kehidupannya telah pudar menjadi hitam dan putih.

Ethan berjalan dengan langkah berat, seakan dunia di sekitarnya tak lagi memiliki arti. Pandangannya kosong, dan Jenia bisa merasakan ada sesuatu yang telah direnggut dari dalam dirinya. Ia berusaha keras menyembunyikan perubahan itu di balik sikap dinginnya, tapi Jenia tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, ada kepedihan yang tak terkatakan.

Sejak desas-desus tentang dana OSIS merebak, Ethan berubah drastis. Dulu, ia yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan kini lebih sering terlihat sendiri, terasing di sudut-sudut sekolah, menatap jauh ke arah yang entah ia tuju. Jenia merasa seolah bagian dari dirinya ikut terpenggal setiap kali melihat Ethan berjuang dalam kesendiriannya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal yang pasti—Ethan sedang terluka, dan ia menutup diri dari dunia.

Suatu hari, ketika Jenia melewati koridor, pandangannya tertuju pada Ethan di depan lokernya. Di lantai, tergeletak secarik kertas robek dengan tulisan mencolok—hinaaan dan ancaman yang mengiris hati. Wajah Ethan tetap dingin, tetapi Jenia tahu, di balik ekspresi itu, ada amarah yang membara, meluap dan siap menghancurkan apa pun yang menghalanginya.

“Kenapa kamu berubah, Ethan?” gumam Jenia pelan, meski ia tahu pertanyaan itu tak akan pernah sampai ke telinga Ethan.

Tatapan mereka bertemu untuk sesaat. Dalam diam itu, Jenia merasakan betapa dalam luka yang Ethan bawa. Ia ingin mendekat, ingin bertanya, ingin mengatakan bahwa ia ada di sana untuknya. Tapi langkahnya tertahan oleh rasa ragu dan ketakutan akan penolakan. Ketakutan yang membelenggu jiwanya, menghalangi niat baiknya.

Hari demi hari berlalu, dan Ethan semakin menjauh. Bukan hanya dari Jenia, tetapi dari semua orang. Setiap kali ia melewati kelas, ada rasa hampa yang menyelimuti ruangan itu, seolah Ethan menarik semua energi positif ke dalam dirinya, meninggalkan hanya kegelapan dan keheningan. Jenia hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasa tak berdaya. Dia ingin membantu, ingin menarik Ethan keluar dari bayang-bayang itu, tetapi ia tahu, itu bukan hal yang mudah.

Kemudian, puncak semua itu terjadi. Di dalam kelas, ketika Ethan meledak marah dan menendang mejanya, Jenia terkejut. Ia tidak pernah melihat Ethan seperti itu sebelumnya—penuh dengan amarah yang terpendam, meluap hingga menakutkan semua orang di sekitarnya. Namun di balik amarah itu, Jenia bisa melihat sesuatu yang lebih dalam—kesedihan yang berujung pada kekecewaan.

Jenia duduk di tempatnya, matanya terpaku pada Ethan yang kini berdiri dengan napas terengah-engah, tatapannya penuh luka. Dia ingin berbicara, ingin menghapus jarak yang ada di antara mereka. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana ia bisa menembus tembok yang Ethan bangun di sekelilingnya? Dalam hatinya, harapan itu berjuang melawan ketidakberdayaan, sementara rasa sakit terus menggerogoti jiwa yang terpisah oleh kesunyian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 10 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang