LUL | 27

1.6K 118 3
                                        

Mau dikasih judul apa,
kisahmu yang sudah selesai itu?

Laut Untuk Langit•

•Laut Untuk Langit•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di dalam rumah yang terasa semakin sempit oleh amarah yang memuncak, Jenia dan Ethan berdiri berhadapan, sama-sama terjebak dalam pusaran emosi yang kian tak terkendali. Suara mereka sudah tak lagi terdengar seperti percakapan, melainkan seperti benturan keras dari dua jiwa yang terluka.

Kemarahan Ethan semakin memuncak ketika melihat koper yang sedang dikemas Jenia, itu berarti satu hal: Jenia akan pergi.

“Apa-apaan lo, hah?!” Ethan menahan gerakan tangan Jenia yang sedang melipat baju.

“Lo punya mata, kan?” Tatap Jenia sengit.

Jenia menghempaskan tangan Ethan, kembali membenahi barang-barangnya tanpa peduli tatapan Ethan yang berubah marah. Setiap lipatan baju yang dimasukkan ke dalam koper seolah menambah beban di hati mereka berdua.

“Lo pikir ini caranya nyelesaiin masalah? Dengan kabur? Lo udah bukan anak kecil, Jenia.” Ethan mencoba menstabilkan suaranya, namun nada marah masih kentara.

“Bukannya lo senang kalau gue pergi?” Jenia mendengus, tangannya semakin cepat memasukkan barang-barang ke dalam koper.

Ethan ingin membantah, tetapi kalimat itu seolah mencekik tenggorokannya, menahannya untuk berbicara.

“Lo emang nggak tahu berterimakasih, ya? Setelah gue bantu lepasin lo dari cengkraman ayah lo, gini balasan lo?” Suara Ethan terdengar semakin tajam, menusuk hingga ke hati Jenia.

“Kenapa lo terus bilang kalau semua ini seolah-olah gue yang salah, Than?” Jenia berteriak, suaranya pecah, penuh dengan kesakitan yang selama ini dipendamnya. “Gue mau pergi, gue nggak mau lihat lo lagi!”

Ethan tak bisa lagi menahan diri. Ia maju, mendekat hingga mereka hampir saling menyentuh. “Karena lo nggak pernah mau dengerin gue, Jen! Lo selalu nganggap gue musuh!”

“Tapi kenyataannya, lo emang udah ngambil semuanya dari gue!” Jenia balas berteriak, suaranya penuh dengan luka yang sudah tak mampu lagi ditutupi. “Gue capek, Than! Gue mau pergi!”

Dengan satu gerakan kasar, Ethan mendorong koper Jenia hingga jatuh ke lantai, isinya berantakan di sekitar mereka. “Kamu bisa ngertiin aku sekali aja nggak sih?” Lirih Jenia, matanya terpejam sejenak, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang. “Aku mau pergi.”

“Gue tanya kemana? Kemana, hah?!” Ethan juga diliputi emosi, otaknya dipenuhi oleh satu pikiran: dia tidak akan membiarkan Jenia pergi.

“Kalau bisa, aku mau nyusul Mama.” Desis Jenia benci, suaranya serak dan penuh kepedihan.

Kemarahan Ethan mencapai puncaknya. Dia mendekat dengan langkah cepat, menahan kepala Jenia yang terus memberontak, jari-jarinya mengeras di antara rambut panjangnya. Nafas mereka terasa saling menghantam, begitu dekat, namun penuh dengan kemarahan yang membara. “Lo nggak akan pergi kemanapun, Jenia.”

LAUT UNTUK LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang