Sesuatu yang dilepaskan secara terpaksa, sakitnya tidak sederhana
•Laut Untuk Langit•
Tiga hari setelah dirawat di rumah sakit, Jenia akhirnya diizinkan pulang.
Dengan gerakan lambat dan hati yang berat, Jenia membereskan barang-barangnya. Ethan sudah menunggu di pintu, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, keduanya tenggelam dalam keheningan yang mencekam, pikiran masing-masing sibuk dengan luka yang belum sembuh. Mobil mereka akhirnya berhenti di garasi rumah yang terasa begitu asing bagi Jenia.
"Jangan mati sebelum lo ngerasa tersiksa di neraka yang gue buat," ucap Ethan dingin, suaranya mengiris ketenangan malam. Namun, ancaman itu hanya menggaung hampa di telinga Jenia. Ia terlalu sering mendengarnya, hingga kata-kata itu kehilangan maknanya. Tanpa sepatah kata pun, Jenia melangkah masuk ke rumah, lalu menuju kamarnya yang suram. Di sana, ia merasakan hatinya telah mati rasa, mengeras oleh rasa sakit yang ia simpan dalam-dalam. Kepercayaannya pada orang-orang di sekitarnya perlahan-lahan hancur, hilang ditelan kekecewaan.
***
Esok harinya, Jenia kembali ke sekolah, berusaha menjalani rutinitas dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki.
Namun, hari itu, satu kelas gempar dengan kabar kedatangan seorang siswa baru. Tidak ada yang menyangka bahwa di penghujung semester, di saat-saat menjelang kelulusan, seseorang akan bergabung dengan mereka.
"Kenalin, nama gue Senja," ucap siswa baru itu dengan senyum yang tulus, mengulurkan tangan pada Jenia.
Jenia memandang tangan yang terulur itu dengan tatapan kosong. Bukan karena ia tidak ingin menerima, tetapi ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia melakukannya. Pandangan siswa lain kini terarah pada mereka berdua, mengamati setiap gerakan yang dilakukan.
"Deket sama aku berarti cari masalah," kata Jenia, suaranya datar, seolah memberi peringatan. Ia kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Senja yang kebingungan dan semua orang yang menatap penuh tanda tanya.
Waktu istirahat tiba, Jenia memilih duduk sendirian di sudut kantin, berusaha menghindari tatapan dan bisikan yang selalu menyertainya.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Zea tiba-tiba mendekat dan melirik mangkuk bakso di hadapan Jenia. Tanpa aba-aba, Alsava mengambil botol sambal dan menumpahkan isinya ke dalam mangkuk Jenia. Seketika, kuah bakso itu berubah menjadi merah pekat, hampir seperti darah.
"Cobain deh, gue jamin enak," ujar Alsava sambil tertawa.
Jenia hanya menatap kosong pada mangkuk di depannya. Ia tidak bergeming, tahu benar apa yang Alsava inginkan.
“Mikirin apa, Jen?” tanya Alsava dengan senyum yang terlihat manis di mata orang lain, tapi begitu mengerikan di mata Jenia. “Mikirin gimana caranya supaya kamu nggak nyusahin orang lain lagi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT UNTUK LANGIT
Romansa"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...