"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
Pada akhirnya, yang kitapelajari dari hidup adalah bagaimana menjadi kuat sendirian
•Laut Untuk Langit•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Mulai sekarang lo tinggal bareng gue."
Jenia hendak menolak, tapi tatapan tajam Ethan menguncinya di tempat.
"Pulang bareng gue," perintah Ethan, menarik tangan Jenia menuju motornya. Jenia memberontak, melemparkan helm ke aspal. Ethan dengan cepat memungut helm itu dan memakaikannya paksa ke kepala Jenia.
"Naik!" Bentak Ethan dengan keras.
"Aku tahu aku salah karena biarin Kanaya jatuh. Tapi jangan hukum aku kayak gini. Hidup aku udah buruk, jangan nambah alasan buat aku benci hidup," ucap Jenia nyaris berbisik, suaranya penuh kesakitan.
Ethan seakan menulikan telinganya, memacu motornya semakin cepat membelah jalanan malam kota.
Ketika mereka sampai di rumah, Jenia merasa lelah, baik fisik maupun batin. Ia hanya ingin istirahat, tapi Ethan tampaknya tidak memberinya kesempatan.
"Gue bakal buat lo ngerasain neraka yang sebenarnya. Jangan harap lo bisa kabur."
Setelah pernyataan itu, Ethan pergi entah kemana. Jenia menarik napas panjang, air mata tak tertahan jatuh. Ingatannya terlempar kembali pada kenangan menyakitkan bersama ibunya, semakin memperdalam luka di hatinya.
"Jaga adik kamu, Jenia."
"Mama mau kemana?"
Rania tersenyum sendu, mengusap rambut Jenia sambil menunjuk tali yang tergantung di langit-langit kamar.
"Jenia ikut ya, Mah."
Tangis Rania pecah, memeluk putrinya yang masih berusia tujuh tahun dengan penuh sayang, mengecup wajah mungil itu bertubi-tubi.
"Jenia jagain Albara ya, jagain Papa juga."
"Kenapa Jenia? Kan ada Mama."
Rania hanya menggeleng, tidak mampu menjelaskan. "Jenia tutup mata dulu ya."
"Mama mau main petak umpet? Tapi Albara pasti marah kalau nggak diajak."
Dengan penuh kepolosan, Jenia menutup mata dan mulai menghitung meski tidak lancar.