Nak(al)

2.6K 330 172
                                    

“Astaga, Al…! Siniin nggak, remote-nya?!” seru Sabila sambil mengejar anaknya yang masih berlari berkeliling ruang tengah.

Al tergelak melihat ibunya yang lelah mengejarnya dari tadi. Bocah yang baru berusia satu tahun sepuluh bulan ini kelewat pintar untuk anak seusianya, terutama kemampuan motoriknya yang di atas rata-rata. Ia sudah bisa berlari dari umur satu tahun, dan sangat tangkas melompat serta memanjat. Hal-hal yang membuat Sabila pusing, sebab hobinya naik ke meja dan rak, serta kitchen island di tengah dapurnya.

Al juga sebenarnya sudah mengerti semua omongan orang tuanya, meski masih terbata untuk berbicara. Dan karena respon verbal Al yang masih minim, Sabila sering kecolongan. Ia kerap jadi korban manipulasi anaknya sendiri. Seperti saat ini.

Anaknya itu tadi merengek menonton kartun, padahal Sabila sangat membatasi screen time. Akhirnya setelah adu merengek, Sabila memberi waktu 10 menit untuk Al kembali menonton, sembari Sabila menyiapkan makan siangnya.

“Al, liat ya. Jarum jam di angka enam, kita stop. Oke?” ucap Sabila sambil menunjuk jam dinding besar di atas televisi. Al hanya mengangguk, tapi berhenti menangis. Sabila menaruh remote di atas coffee table dan meninggalkannya ke dapur.

Sabila larut dalam kesibukannya, tak sadar sudah lima belas menit waktu berlalu. Ia lantas mendatangi anaknya itu. “Loh, udah lebih kan, ini? Stop nonton ya.” ucap Sabila, sambil mencari remote di atas meja. Al hanya melirik lalu kembali sibuk pada layar kaca.

“Mana ya, remote-nya? Kayaknya tadi di sini.” gerutu Sabila. Ia lantas menoleh ke bocah hampir dua tahunnya, “Dimana Al? Tadi Mama taruh di sini, kan?”

Al menggeleng, mengangkat bahu.

“Al tahu, kan?” tanya Sabila lagi. Kembali Al menggeleng, “Ng-nggak.” jawabnya.

Sabila lantas mengangkat bantal-bantal di sofa, menunduk ke bawah meja, dan memeriksa di selipan sofa. Al masih terduduk di karpet, ia diam saja, masih memperhatikan televisi.

Ketika Sabila mencoba mengangkat karpet, netranya tertuju pada pantat anaknya. Remote itu ia taruh di kantong belakang celananya, dan ia duduki.

“Al…! Itu apa, di pantat kamu?!” tanya Sabila.

Al lantas berdiri dan berlari menghindar dari Sabila, sambil berteriak, “Akkk! Gamao..!”

Begitulah rutin sehari-hari Sabila ketika shift-nya sore. Selalu ada saja drama dengan anaknya sendiri. Teriakan Al tak akan habis sebelum kemauannya dipenuhi, atau ia didistraksi oleh hal lain.

Dan saat ini, pintu rumahnya terbuka, Renner pulang untuk makan siang.

“Aaaayyyaaaahhh…!” pekik Al, berlari ke ayahnya. Renner berlutut, lalu memeluk anaknya erat, dan mencium pipinya, “Halo Al…jagoan ayah.”

Sabila menatap suaminya malas. “Anak ayah tuh, nakal nggak mau stop nonton kartun. Remote-nya pake disembunyiin segala.”

Renner lalu melonggarkan pelukannya, menatap putranya tajam, “Mas Dirga, kan ayah bilang apa? Kalo di rumah jangan ngerepotin Mama.”

Ekspresi Al berubah, senyumnya berubah merajuk, bibirnya mengerucut–jelas meminta ampunan dari sang ayah. Ia juga langsung memberi remote yang ia genggam ke Renner. “Nah, gitu, pinter.” sahut Renner sambil menerima benda hitam itu.

Sabila hanya bisa menghela nafasnya. Belum ada dua tahun, anaknya itu sudah pintar akting. 

Dirgantara Tritan Almarendra.

Tiga nama yang menggambarkan langit, laut, dan alam raya. Harapannya ia akan sekuat Renner, berdedikasi seperti Sam (Tritan adalah nama anak dari Dewa Laut, Poseidon), dan berguna untuk dunia ini.

Tim Shadow dan PerintilannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang