Dirga akhirnya berhasil membujuk Ayla untuk tidak mengkonfrontasi ayahnya di pemakaman. Ia tahu Ayla pasti tak dapat membendung emosinya dan menimbulkan keributan di tempat yang tidak seharusnya. Jadi, Dirga memutuskan untuk mengantar Ayla pulang.
Di mobil, Dirga menjelaskan singkat perihal makam yang dikunjungi Iqbal.
“Kamu harus tanya ke Bapak, Ay. Baik-baik tapi ya. Setahu aku, itu makam Tante Karina. Ayah pernah cerita tentang wartawan yang pernah nyelametin Mama.”
“Mamanya Mas Al?”
Al mengangguk, “Tante itu pernah ketembak buat nyelametin Mama di rumah sakit. Terus ternyata dia sakit apa gitu, kelainan darah atau semacamnya. Aku nggak tahu detailnya. Tapi kalo nggak salah, Tante Karina itu cinta pertamanya Om Iqbal.”
Cinta pertama? Jadi, ada orang lain selain ibun?
“Ay. Nggak semua orang menikah sama cinta pertamanya, kan?” tanya Dirga seperti membaca arah pikiran Ayla. Ia tahu, tidak ayahnya, tidak mamanya, tidak juga Om Iqbal dan Tante Clara. Mereka semua punya masa lalu sebelum akhirnya menikah puluhan tahun dengan pasangan masing-masing.
Ayla menatap sosok kakaknya itu. Penuh kebimbangan. Dirinya sendiri belum pernah pacaran, apalagi merasakan jatuh cinta. Bukan kenapa, hanya belum ada laki-laki yang ia sukai. Jadi, ia tidak tahu apa-apa soal cinta pertama.
“Kalo Mas Al, bakal nikah sama cinta pertamanya Mas Al, nggak?”
Deg. Dirga tak siap dengan pertanyaan ini.
“Ya, rencananya sih gitu.”
Ayla hanya mengangguk-angguk. Dirga juga tidak pernah punya pacar, sebab ia selalu mengikuti saran cinta dari Om Paul. Katanya, kalau belum yakin jangan komitmen. Jadilah selama ini ia hanya bergonta-ganti gebetan, tapi hatinya tak pernah benar-benar punya tambatan. Apa mungkin, Ayla jadi jawaban?
Ah tapi rasanya, Dirga cuma penasaran saja karena beberapa waktu lalu Ayla bilang tak mau punya pasangan polisi. Mendengar ini, entah mengapa membuat Dirga sedikit kesal. Sekaligus tertantang.
“Mas…? Udah sampe ini kok malah dilewatin rumahku?” Suara Ayla memecah lamunan Dirga.
Ckit!! Ia berhenti mendadak. “Eh? Maaf, aku nggak fokus.” mobilnya melewati dua rumah dari yang seharusnya.
Ayla lalu pamit, “Mas Al, makasih ya hari ini. Inget, jangan cerita sama Sheila…!”
Dirga tersenyum, “Sheila lagi nginep di rumah temennya kok hari ini. Tenang aja.”
“Oh iya. Kabarin ya, Ay, kalo ada apa-apa.” tambahnya lagi.
Ayla mengangguk, lalu turun dari mobilnya.
⏳⏳⏳
Makan malam kali ini terasa sedikit tegang untuk Dirga. Entah mengapa ia tidak tenang. Berkali-kali ia mencuri pandang ke ayahnya. Tapi ayahnya tampak biasa saja. Sepertinya memang kegiatan membuntuti Iqbal tidak ketahuan. Baguslah, skill menyetirnya berarti cukup baik.
“Mas Dirga, ayah denger kamu izin sore tadi. Kemana?”
Hah. Kok tahu?
Dirga mengangkat alisnya, “Sejak kapan petinggi Kemnag peduli sama jadwal anak Polsek di daerah Timur?”
Sabila menghembuskan nafasnya kasar. Anaknya ini ditanya baik-baik malah jawab menantang. Sudah pasti suaminya sebentar lagi naik pitam.
“Sejak kapan anak ayah jadi belagu? Yang nanya bukan petinggi Kemnag, tapi seorang ayah ke anak pertamanya. Karena tadi ayah ada mampir ke Polsek kamu nggak ada. Atasan kamu bilang kamu izin.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Сучасна прозаOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.