Jakarta, kota yang penuh warna-warni, kini menjadi sorotan nasional bukan karena warna cerahnya. Peristiwa tragis di sebuah aksi damai telah merenggut nyawa seorang mahasiswa. Penembakan itu mengundang berbagai spekulasi, terutama tudingan bahwa pelakunya adalah aparat kepolisian. Namun, belum ada bukti konkret, sementara pihak berwenang terkesan menutup-nutupi kebenaran.
Di Bintang, Tim Shadow berkumpul dalam suasana tegang. Renner duduk di kursi tengah, memegang laporan awal yang dirahasiakan, yang Renner dapatkan dari Propam. Data itu menyebutkan nama-nama oknum polisi yang diduga terlibat dalam penembakan tersebut. Tapi Renner tahu, ia tak akan bisa membawa kasus ini ke permukaan.
“Kita nggak bisa langsung bertindak,” ujar Renner, mengangkat pandangannya ke seluruh anggota tim. “Pelakunya anggota kita. Langkah salah sedikit, kita yang habis.”
“Jadi, kita diem aja?” balas Iqbal dengan nada keras. “Mahasiswa ini ditembak mati, Bang. Dan bukannya dulu Abang-abang ngungkap kasusnya Pak Kambo sama Satgas 30?”
Danil berdehem. “Itu beda jaman, Bal. Dulu Satgas 30 itu Pak Dewa yang bikin. Dia juga punya dukungan penuh dari presiden.”
“Tapi ya, kita nggak bakal diem aja kok.” Sahut Paul melirik ke sahabatnya. Ia tahu, Renner pasti sudah punya tekad bulat mengenai ini. Tak mungkin ia biarkan polisi pembunuh berkeliaran seperti ini, meski keadaannya sangat sulit. Kapolri yang sekarang terlalu menjaga imej. Bahkan ia sudah punya tim buzzer untuk meng-counter narasi-narasi media yang tidak pro-polisi.
“Kita butuh orang luar.” gumam Renner, pikirannya berputar. “Seseorang yang punya kuasa buat ngelangkahin polisi.”
Ia menatap Iqbal sejenak sebelum melanjutkan, “Kita butuh Clara.”
Ruangan langsung hening. Paul bersandar di kursinya, mengusap dagunya yang belum dicukur. “Clara? Lo yakin? Bukannya itu malah bikin ribet?”
Iqbal langsung menyela. “Nggak, ya, Bang. Ini bakal jadi perang kejaksaan lawan polisi. Malah jadi tambah rumit.”
Renner menatapnya tajam. “Justru itu. Bukannya lebih baik rumit di sana? Daripada rumit di internal kita yang nggak bisa diapa-apain? Kita bisa kasih semua bukti rahasia yang kita punya ke kejaksaan, Bal.”
“Bang, tapi kalo ketahuan…Nggak cuma kita, Clara juga yang kena imbasnya,” balas Iqbal, nadanya lebih pelan tapi penuh tekanan.
Gue dipecat sih masih nggak apa-apa. Tapi kalo istri gue dipecat juga, mau makan apa Ayla? Batin Iqbal.
Syarla pun angkat bicara. “Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau bukan Kak Clara, siapa lagi? Jaksa Agung yang sekarang mungkin udah bukan Pak Binsar, tapi beliau masih pro-kebenaran, nggak kayak Kapolri kita yang sekarang.”
“Lagian, kalo dari kaca mata politik, kalau Pak Yusuf bisa menangin kasus ini, wibawanya dia sebagai Jaksa Agung pasti makin naik.” tambah Danil.
Iqbal menghela napas panjang. Ia tahu mereka semua benar, tapi pikirannya masih penuh kekhawatiran. Akhirnya, dengan enggan, ia mengangguk. “Oke. Tapi kalau Clara setuju, gue mau semuanya direncanain dengan matang.”
Renner menepuk bahu Iqbal. “Percaya sama dia, Bal. Clara itu lebih pinter dari yang lo pikir.” Iqbal mendengkus. Sejauh itu, ia juga tahu.
⏳⏳⏳
Renner dan Iqbal bertemu Clara di ruang kerjanya di Kejaksaan Tinggi. Perempuan berambut panjang itu menatap mereka berdua dengan ekspresi datar, meski matanya menyiratkan rasa penasaran. Ia sudah mendengar berita penembakan tersebut, tapi tidak menyangka akan diminta bantuan oleh suami dan rekan-rekannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
Ficción GeneralOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.