Malam di Istana (2)

913 155 43
                                    

"Kamu polisi, ya?" tanya Rose tiba-tiba, suaranya rendah, matanya penuh telisik.

Paul tersenyum menyeringai. “Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?” tanyanya dengan nada menantang.

Rose mengangkat bahu. “Saya tahu kamu udah perhatiin saya dari lama. Bahkan jauh sebelum saya ngobrol sama Alex.” jawabnya lagi. Alex, delegasi asal Australia yang bercakap dengannya terakhir kali.

Paul memutar otaknya. Ia tak bisa ketahuan begitu saja. Ia lalu menghela nafasnya. “Jujur, memang saya sudah perhatiin kamu dari awal datang. Bahkan saya yang meminta fotografer itu untuk mengambil foto, supaya kamu bisa berhenti ngobrol dengan Alex.”

Rose mengernyitkan alisnya, menyimak dengan penuh curiga.

Paul menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan. “Saya… memang mau kenalan. Kamu terlihat sangat cantik.” nadanya bulat.

Rose terkekeh kali ini. “Sayang, saya sudah tunangan.” jawab Rose, memamerkan cincin perak di tangan kirinya.

Paul mengangkat satu alisnya, “Tapi dia nggak lagi di sini, kan?”

“Viking. Memang pemberani, ya?” Rose tersenyum lagi. “Betul, dia nggak ikut. Jadi, malam ini saya bebas.”

“Bebas nunjukkin kamu koleksi Viking di ruangan ini.” lanjutnya. Ruangan yang mereka singgahi sekarang memang tampak seperti ruang pameran biasa. Tapi Rose mendorong sebuah panel di tembok yang ternyata merupakan sebuah pintu.

Syarla menyaksikan ini semua dengan takjub, sekaligus khawatir. “Bang, ini udah pasti, Rose itu Eve. Atau dia seseorang yang patut dicurigai.” sahutnya melalui comms. Ia lantas menghubungi tim tambahan untuk membantu mereka. “Bang Paul, ikutin aja maunya dia apa. Nanti Syarla siapin tim di luar ruangan.”

Paul mengetuk kamera kecil yang ada di kancing bajunya dua kali. Tanda ia mengerti instruksi Syarla.

Sementara itu, Iqbal masih mencurigai Madeline. Biarpun tampaknya Eve sudah ditemukan, tapi ia masih mengikuti pergerakan wanita Amerika itu. Madeline sedang menyantap makan malamnya di meja bundar, di sebelah pria asal Arab. Ia tampak tidak ingin bercakap dengan sebelahnya. Iqbal pun mengambil kesempatan duduk di sebelah Madeline ketika pria itu bangkit untuk mengambil minum.

Iqbal langsung mengajaknya bicara, “Bosen, ya?”

“Eh- enggak.” jawab Madeline berbohong, ia tampak menggeser-geser makanannya dan tak tertarik dengan sekitarnya.

“Nih, coba.” Iqbal menggeser piring berisi gado-gado itu dan menggantinya dengan tongseng. “Ini baru makanan lokal. Masa ke Indonesia makan salad.” ujarnya sambil tertawa.

Madeline menoleh, ia tampak berterima kasih kepada Iqbal, dan segera menyicipi piring barunya. “Wah, iya, enak. Rekomendasi temen saya buruk berarti.” ucapnya.

“Tapi itu tongseng kambing. Saran saya sih, semprot parfum setelah makan.” ucap Iqbal. Madeline mengangguk, lalu segera menghabiskan makanannya. Iqbal menikmati cangkir kopinya sambil terus memperhatikan lawan bicaranya.

Setelah piring itu habis, Madeline mengikuti saran Iqbal dan menyemprotkan botol parfum kecil ke pergelangan tangannya, lalu ke lehernya. Tapi ujung semprotan botol itu terlepas, sehingga cairan parfumnya tumpah ke leher dan bahu terbuka Madeline. Iqbal refleks mengambil tisu dan membantu mengeringkannya.

“Wah bisa jadi barbuk buat Clara nih.” sahut Danil yang berdiri tak jauh dari situ. Ia lalu mengambil gambar adegan Iqbal dan Madeline ini. Tapi Iqbal menoleh ke arahnya.

Sial, tertangkap basah. Batin Danil.

Namun juniornya itu malah mendongakkan kepalanya, ingin ia mendekat. Setelah mendekat, Danil bertanya, “Picture? The two of you?”

Tim Shadow dan PerintilannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang