Rintik gerimis menghiasi Jakarta malam itu, suasana jadi sedikit syahdu dengan lampu-lampu kota yang temaram. Renner dan Sabila sedang dalam perjalanan pulang ke rumah setelah menghabiskan waktu bersama Clara, Iqbal, dan Ayla. Senyum kecil masih menghiasi wajah Sabila ketika ia mengingat pipi bulat Ayla dan gelak tawanya yang menggemaskan. Ayla baru berumur tiga bulan, tapi hadir seperti cahaya kecil yang membantu menyembuhkan luka kehilangan mereka beberapa bulan lalu.
"Ayla lucu banget ya Mas?" Gumam Sabila.
"Iya, dia tuh udah bisa ketawa-ketawa gitu ya, kayak ngerti omongan kita." sahut Renner. Ia lalu menoleh ke belakang, "Mas Al, Dek Ayla lucu nggak?"
"Lucu!! Ayla adek Mas Al!!" pekiknya dari car seat.
Sabila tersenyum. Sudah pasti, Ayla akan ia anggap juga seperti anak sendiri. Al juga tampak sangat senang bermain dengan bayi kecil itu tadi.
Tak lama setelah mereka sampai di rumah, ponsel Renner bergetar.
Caller ID.
Pak Jeffry."Ren," suara Pak Jeffry terdengar serius di ujung sana. "Saya ada urusan mendadak. Mertua saya mendadak masuk rumah sakit, dan saya dan istri harus segera ke luar kota. Tapi saya butuh bantuan kamu dan keluarga."
Renner mengerutkan dahi. Jarang sekali Pak Jeffry meminta bantuan personal seperti ini. "Apa yang bisa saya bantu, Pak?"
"Ceritanya agak panjang. Boleh saya nitip anak saya ke kamu sementara waktu? Tapi, dia baru delapan bulan. Saya paham kalo kamu nggak bisa-" penjelasan Pak Jeffry sedikit terburu, terdengar juga suara lalu lintas di latarnya. Atasannya juga tahu bahwa ia baru kehilangan calon bayinya beberapa bulan silam.
Tapi Renner refleks menjawab tanpa pikir panjang. Atasannya itu sudah terlalu banyak memberikannya kebaikan. "Bisa, Pak."
"Bener? Yaudah saya otw kesana. Kamu nggak mau tanya Sabila dulu?"
"Saya yakin, istri saya dengan senang hati bantu Bapak dan istri." jawab Renner lagi. Sabila hanya menoleh heran sambil mengunyah keripik kentang di sofa ruang tengahnya.
"Oke, Ren. Saya setengah jam lagi sampai rumah kamu."
Renner menutup telepon itu dengan yakin. Namun, yang menjadi pertanyaan Renner, sejak kapan Pak Jeffry punya anak lagi? Setahunya, anak-anak Pak Jeffry sudah besar. Yang paling kecil sudah kuliah semester satu.
Renner lalu menjelaskan singkat perihal Pak Jeffry ke Sabila. Untungnya istrinya mengerti. Perkara menitip bayi satu malam saja, Sabila sanggupi.
Tak lama, Pak Jeffry dan istri sampai di rumah mereka. Ternyata setelah diberi penjelasan lebih panjang, ceritanya lebih masuk akal. Bayi itu, bukanlah anak dari Pak Jeffry. Ia dititipkan sementara oleh anggota timnya, Sandi, yang sedang bertugas. Seharusnya ia pulang dua hari lagi dari penugasan ke Bandung.
Istri Sandi meninggal ketika ia melahirkan. Dan biasanya, Sandi menitipkan anaknya ke ibunya. Tapi ibunya juga baru saja meninggal karena sakit. Sandi tak punya siapa-siapa lagi di Jakarta, jadi istri Pak Jeffry dengan senang hati menjaga sang bayi.
"Anak-anak kan udah pada gede. Jadi ya, biar rumah agak rame lagi." ucap Bu Ardini tersenyum. "Tapi ayah saya sekarang sakit, kami harus terbang ke Solo. Saya titip sebentar, ya?"
Bu Ardini memberikan bayi yang ia gendong ke Sabila, bayi itu gemuk dan menggemaskan. Matanya bulat melotot ke Sabila. Ia meronta sebentar tapi lantas tenang setelah berada di dalam dekapan Sabila.
"Dia cukup nurut kok. Nggak rewel sama sekali. Kayaknya karena sering dititip." jelas Bu Ardini. Ia juga memberikan tas yang berisi baju-baju dan perlengkapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
General FictionOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.