Air sungai yang dingin menusuk kulit Jisoo seperti ribuan jarum. Arus deras membawa tubuhnya terombang-ambing tanpa kendali. Dia tidak bisa merasakan apa pun selain rasa sakit yang menusuk di perutnya, tepat di tempat peluru Jae bersarang. Setiap tarikan napas terasa berat dan darah yang terus mengalir semakin membuat tubuhnya lemah.
Matanya perlahan mulai kabur. Air sungai yang gelap seperti merangkak ke dalam kesadarannya, menyeretnya lebih jauh ke dalam jurang kegelapan. Jisoo terombang-ambing antara hidup dan mati, pikirannya terus dihantui oleh bayangan saudara-saudaranya, terutama Jun dan Jae. Bagaimana bisa mereka mengkhianatinya? Bagaimana bisa keluarga yang telah melindunginya sepanjang hidupnya, yang selalu dia lihat sebagai pelindung sekarang berubah menjadi pembunuhnya?
Di tengah arus yang deras, ingatan masa kecilnya muncul berkelebat satu per satu. Ibunya dengan kelembutannya yang menenangkan, menyisir rambutnya di malam hari, membisikkan janji bahwa Jisoo tidak akan pernah merasakan kegelapan seperti yang dialami saudaranya. Ayahnya, meskipun dingin dan tegas, diam-diam melatihnya, memberinya kekuatan untuk setidaknya melindungi dirinya sendiri. Tapi semua itu kini terasa ilusi. Keluarganya, mereka semua—mereka pasti sudah lama merencanakan ini. Mereka memandangnya lemah dan bagi Keluarga Kim, kelemahan adalah dosa yang tidak bisa diampuni.
Sungai semakin deras. Tubuh Jisoo terbawa jauh, diputar, dan dihantam oleh bebatuan di bawah permukaan air. Darah yang mengalir dari lukanya mulai bercampur dengan air sungai, meninggalkan jejak merah yang samar di balik tubuhnya yang semakin tenggelam.
Jisoo mencoba menggerakkan tangannya, berusaha mencari pegangan, tapi jari-jarinya sudah terlalu lemah. Dia tersedak air, paru-parunya terbakar oleh dingin dan sesak. Pandangannya mulai gelap, dunia seakan memudar di sekelilingnya. Dalam benaknya hanya ada satu kata yang terus terulang—kenapa?
Tetapi di saat kesadarannya hampir hilang, sebuah tangan kuat tiba-tiba menyambar pergelangan tangannya. Sekejap tubuhnya tersentak keluar dari aliran deras sungai. Udara dingin menerpa wajahnya dan meski pandangannya masih buram, dia bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke daratan. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mengigil hebat karena kedinginan dan luka.
“Bertahanlah!” Sebuah suara—suara yang tidak dia kenali—berteriak di atas kebisingan air sungai yang deras. Perlahan kesadarannya kembali walau masih sangat tipis. Jisoo merasakan tubuhnya diangkat dari tepi sungai, ditarik ke tempat yang lebih aman.
Dia mencoba membuka matanya lebih lebar, tapi hanya bisa menangkap siluet seseorang di atasnya. Sosok tinggi dengan rambut pirang yang basah kuyup oleh air sungai, wajahnya penuh tekad dan keprihatinan.
“Jangan mati sekarang.” Suara itu terdengar samar, tetapi jelas penuh perintah. “Jangan menyerah!”
Tapi tubuhnya sudah sangat lemah. Dia tidak bisa menjawab, hanya merasakan panas menyebar dari perutnya yang terluka. Dia bisa merasakan darah terus keluar, meski tekanan dari tangan yang mencoba menghentikan pendarahan itu tidak berhenti. Semakin lama rasa sakit itu berubah menjadi sesuatu yang lebih tumpul. Kegelapan merayap lagi dan biarpun dia ingin melawan, ingin tetap sadar, tubuhnya tidak bisa mengikuti keinginannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking Her | taesoo [✔️]
FanfictionDikhianati oleh saudara kembarnya, Putri Kedelapan dari keluarga assassin hidup dengan identitas baru sebagai Jisoo Lyudmila Baek, setelah diselamatkan dari kematian oleh seorang bangsawan muda, Daisy Lavinia. Demi membalas budi, Jisoo bersumpah mel...