Chapter XLIV: War of heart

226 58 13
                                    

Warning 🔞
[Banyak adegan kekerasan. Siapkan mental kalian dulu sebelum baca]

Di lorong-lorong sempit yang berliku, Jisoo dan Zaheer terus berlari sekuat tenaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di lorong-lorong sempit yang berliku, Jisoo dan Zaheer terus berlari sekuat tenaga. Suara langkah kaki mereka bergema, berbaur dengan detak jantung mereka yang berpacu dalam ketakutan. Sudah hampir seharian mereka bersembunyi, menghindar dan melarikan diri dari tiga pria yang terus membuntuti mereka dengan pantang menyerah, seperti pemburu yang tak akan tenang sebelum berhasil menangkap buruannya.

Udara malam terasa berat dan pekat di pinggiran Tarrin, dingin dan lembap menelusup hingga ke tulang. Bau busuk dari tumpukan sampah yang membusuk di sudut-sudut gang bercampur dengan aroma logam dan karat dari pipa-pipa tua yang merembeskan air kotor. Lorong-lorong yang mereka lewati gelap dan sunyi, hanya diterangi sesekali oleh lampu jalan yang berkedip-kedip, memberikan sedikit cahaya yang hampir tak berarti, seolah-olah kota itu enggan memberikan secercah harapan bagi mereka yang terperangkap dalam keputusasaan.

Zaheer menggenggam erat-erat tangan Jisoo, tangan kecilnya basah oleh keringat dan dingin seperti es. Tatapan bocah itu penuh ketakutan, matanya yang besar memandang Jisoo dengan harapan yang rapuh, seolah Jisoo adalah satu-satunya tameng yang bisa melindunginya dari buruan orang-orang dewasa itu.

Sementara Jisoo terus berusaha menahan rasa paniknya meskipun jantungnya berdebar kencang. Dia tahu mereka tak bisa terus-terusan berlari tanpa arah seperti ini. Tapi apa pilihan mereka? Setiap kali dia menoleh ke belakang, dia masih bisa melihat siluet ketiga pria itu, bergerak cepat dan gigih seperti predator yang mengincar mangsanya.

“Zaheer, berlarilah sekuat tenagamu,” bisiknya dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Kita hampir sampai di ujung lorong.” Kata-katanya lebih sebagai upaya untuk menenangkan bocah itu dan mungkin juga dirinya sendiri. Namun, dalam hatinya, keraguan tumbuh semakin besar. Ke mana mereka akan pergi setelah ujung lorong ini? Apakah ada tempat yang cukup aman untuk bersembunyi dari mereka?

Hampir sepanjang hari ini mereka terus bergerak, menyelinap dari satu sudut gelap ke sudut lainnya, bersembunyi di balik tumpukan kardus, tong-tong sampah, dan celah sempit di antara bangunan kumuh. Lorong-lorong kawasan kumuh yang suram terasa semakin menyesakkan dengan bau busuk dari sampah yang menggunung dan udara lembap yang membuat napas terasa berat. Setiap kali mereka berhenti untuk bersembunyi dan beristirahat sejenak, mereka menahan napas, berharap dengan cemas agar para pengejar melewati lorong yang salah.

Namun, ketiga pria itu tampaknya tak semudah itu untuk dikelabui. Dari kejauhan, suara langkah kaki berat dan gelak tawa mereka yang kasar semakin mendekat, menghantam udara malam yang tenang dengan nada ancaman tak kentara.

“Hei, bocah! Kau pikir bisa bersembunyi lagi dariku?” Salah satu dari mereka berteriak, suaranya penuh nada mengejek, menyiratkan rasa senang yang mengerikan. “Aku ingat wajahmu dan temanmu itu, anak tengik.” Pria itu tertawa, suara tertawanya bergaung membuat suasana semakin menegangkan.

Breaking Her | taesoo [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang