Malam itu, Jisoo dan Hanna berlindung di bawah naungan pepohonan. Angin malam bertiup dingin menusuk kulit mereka yang hanya dilindungi oleh kostum kelinci tipis. Gigitan nyamuk dan serangga lain membuat tidur menjadi mustahil. Mereka meringkuk bersama, berusaha melawan dinginnya malam, kelaparan, dan rasa haus yang semakin menggerogoti tubuh mereka. Hutan yang tadinya sunyi kini terasa semakin mencekam dengan suara-suara hewan liar yang sesekali terdengar dari kejauhan.
Namun, rasa takut terbesar Jisoo bukan pada binatang buas, melainkan pada para pria yang berburu mereka seolah mereka adalah binatang buruan.
Fajar mulai menyingsing membawa sinar pertama yang menyapu hutan. Jisoo terbangun dari tidur singkatnya yang dipenuhi kegelisahan dan mimpi buruk. Hanna yang lebih dulu terjaga menggoyangkan bahunya, memberi tahu bahwa mereka harus segera bergerak. “Kita harus kembali sebelum penjaga-penjaga itu datang.”
Mereka berdua bangkit dengan perlahan meskipun tubuh mereka terasa kaku dan lelah akibat gigitan serangga, serta nyeri di sekujur tubuh dan luka-luka dari perburuan semalam. Setiap gerakan terasa menyakitkan, tapi Jisoo tidak punya pilihan lain selain terus berjalan. Langkahnya lamban, berusaha tetap kuat sambil mendukung Hanna yang tertatih-tatih di sampingnya. Hutan ini dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan udara yang lembap, terasa seperti labirin tanpa akhir yang bukan hanya menguras tenaga, tapi juga mengikis sedikit demi sedikit harapan mereka untuk bertahan hidup.
Saat mereka tiba kembali di tempat awal, pemandangan yang menyambut mereka membuat Jisoo tertegun. Jumlah wanita yang tersisa jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Mata Jisoo menyapu area itu dengan rasa ngeri, melihat wajah-wajah yang kini pucat, beberapa wanita terkapar di tanah dengan tubuh lemah dan terluka. Suara erangan pelan terdengar memperjelas betapa parahnya keadaan mereka. Namun, yang paling mengerikan adalah beberapa di antara mereka sudah tidak ada. Wanita-wanita itu mati, menjadi korban perburuan yang keji.
Rasa mual menyerang Jisoo seketika, tapi dia menahan perasaannya agar tidak terlepas. Pikirannya berputar-putar, perutnya melilit, meresapi kenyataan yang lebih buruk dari yang dia bayangkan. Para pria itu tidak hanya memperlakukan mereka seperti hewan buruan—ini lebih buruk, jauh lebih kejam. Bagi mereka, hidup para wanita ini tak lebih dari sekadar mainan yang bisa dihabisi sesuka hati.
Di sisi lain, para penjaga berdiri menunggu mereka di dekat pintu masuk mansion. Tubuh mereka yang besar dan tegap terlihat mencolok di antara para wanita yang lemah dan ketakutan. Jisoo dan Hanna berjalan tertatih-tatih mendekati barisan. Para penjaga itu segera memerintahkan mereka untuk berbaris bersama wanita-wanita yang selamat. Jisoo mengamati wajah-wajah di sekelilingnya—wajah yang tak hanya kelelahan, tapi juga dipenuhi dengan teror yang terus menghantui. Mereka tampak begitu kosong seperti sudah kehilangan harapan untuk melawan.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Jisoo menyadari bahwa para pria yang tadi berburu tidak terlihat. Kebingungan melintas di wajahnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya, Hanna yang menyadarinya lebih dulu memberi isyarat dengan anggukan kecil. “Mereka pasti sedang tidur,” bisiknya pelan. “Biasanya setelah berburu seharian, mereka akan beristirahat sepanjang pagi dan tidak muncul sampai malam.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking Her | taesoo [✔️]
Fiksi PenggemarDikhianati oleh saudara kembarnya, Putri Kedelapan dari keluarga assassin hidup dengan identitas baru sebagai Jisoo Lyudmila Baek, setelah diselamatkan dari kematian oleh seorang bangsawan muda, Daisy Lavinia. Demi membalas budi, Jisoo bersumpah mel...