Chapter XLIII: Run 5.0

248 59 23
                                    

Empat hari berlalu terasa seperti empat abad bagi Taeyong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat hari berlalu terasa seperti empat abad bagi Taeyong. Waktu seolah melambat, setiap detik hanya menambah bara di dalam dirinya. Kehilangan jejak Jisoo adalah penghinaan yang tak termaafkan, sebuah tanda ketidakmampuan yang membuat darahnya mendidih. Tak ada petunjuk, tak ada informasi, hanya kegagalan demi kegagalan yang dilaporkan oleh bawahannya, dan itu semua hanya memperkeruh amarahnya. Setiap kali seseorang datang tanpa kabar baik, kemarahannya meledak, meninggalkan ketegangan yang tebal di udara.

Dua penjaga dan seorang pelayan hotel yang gagal menjaga Jisoo malam itu menjadi korban pertama dari amarahnya yang tak terkontrol. Mereka kini berlutut di hadapannya dengan tubuh penuh memar dan luka, sementara napas terengah-engah tengah menahan rasa sakit yang terus menyerang tanpa jeda. Mata Taeyong menyala dingin dan penuh kebencian, membuat para pegawai yang menyaksikan dari jauh menggigil. Dia berdiri tegak di depan mereka, sosok yang tak segan-segan menghukum dengan brutal.

“Tidak ada alasan.” Suaranya rendah dan begitu tajam hingga membuat udara di sekitar terasa semakin berat. “Kalian telah gagal. Ini adalah akibat dari kelalaian yang kalian lakukan.” Pandangannya menyapu ketiga orang di depannya dengan jijik, seperti predator memandang mangsanya yang lemah.

Bagi Taeyong kelalaian mereka adalah dosa yang tak terampuni. Setiap jerit kesakitan yang terdengar dari mereka hanyalah pengingat akan tekadnya bahwa dia tidak akan berhenti sampai Jisoo ditemukan. Tidak ada yang berani melawan tindakan semena-menanya yang semakin hari semakin mengerikan. Setiap orang telah menerima setidaknya satu kali pelampiasan kemarahan tuan mereka.

Selama empat hari ini, Taeyong menutup dirinya dari dunia luar. Dia tak memedulikan siapa pun kecuali satu hal: menemukan gadis yang berani melarikan diri darinya. Panggilan dari teman-temannya, pesan dari rekan bisnis, bahkan permintaan sang ibu yang mendesaknya untuk pulang dan menjelaskan soal rumor kekasihnya—semuanya tak diindahkan. Bahkan ketika ibunya bersikeras membahas pernikahan yang semakin dekat, Taeyong tak memberi jawaban. Semua hal di luar misi ini terasa tak berarti. Hanya ada satu hal penting dalam hidupnya ini dan dia tak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkannya kembali.

Malam itu seperti malam biasa, Taeyong kembali ke kamar hotel yang terasa begitu hampa tanpa kehadiran Jisoo. Kamar yang dulu penuh dengan kehadiran gadis itu kini berubah menjadi ruangan dingin dan sunyi, dipenuhi bayang-bayang dan kenangan yang menusuk hati. Dia berdiri di dekat jendela, memandang kegelapan Kota Tarrin sementara bayangan Jisoo terus terlintas di benaknya tanpa henti.

Di setiap sudut kamar ini menyimpan jejak gadis itu—aroma samar yang tertinggal di bantal, gaun tipis yang pernah dia tinggalkan di kursi, bahkan gelas di meja yang pernah disentuh bibirnya. Pikirannya melayang ke senyum samar Jisoo, senyum yang kadang muncul ketika dia berpura-pura acuh. Dia teringat bagaimana Jisoo sering melamun di meja kecil di samping jendela, menatap kota dengan pandangan yang sulit ditebak, seolah-olah ada dunia lain yang hanya dia yang bisa lihat.

Rasa rindu menggerogoti hatinya, sebuah perasaan yang tak pernah Taeyong duga akan dia rasakan. Setiap kali membayangkan Jisoo, ada desakan aneh di dadanya—perasaan yang begitu asing, membuatnya gelisah namun tak mampu dia singkirkan. Dia merindukan tatapan dingin gadis itu, tatapan penuh kebencian yang sekaligus membangkitkan hasrat dan tantangan dalam dirinya. Di bawah kendali ketat dan egonya yang besar, ada dorongan yang terus berbisik, memaksanya untuk mengakui betapa gadis itu telah mempengaruhi seluruh hidupnya.

Breaking Her | taesoo [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang