Pagi itu, mentari perlahan menampakkan sinarnya, menghangatkan bumi dengan sinar lembutnya. Di teras rumah yang sudah lama tidak ia huni, Alvarez duduk menikmati aroma kopi yang menggoda, ditemani camilan favoritnya. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan kenangan membawanya pada rasa rindu yang mendalam.
"Sudah lama aku tidak mencium aroma kopi ini. Ternyata bukan hanya wajahmu, tapi semua yang ada pada dirimu selalu kurindukan," gumamnya lirih.
Waktu sarapan pun tiba. Di meja makan, suasana canggung menyelimuti dua insan yang akhirnya bisa kembali duduk bersama setelah sekian lama. Meski begitu, aroma masakan khas tetap mendominasi ruangan, mengisi keheningan yang terasa menyesakkan.
"Mas, sebaiknya makan lebih banyak. Perjalanan nanti cukup panjang," ujar Raihana dengan lembut, sambil menyajikan makanan favorit suaminya.
Alvarez menatap piring di depannya. Banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi semuanya terasa tertahan di tenggorokan. Akhirnya, hanya ucapan pendek yang meluncur dari bibirnya, "Ya, terima kasih."
Dentingan sendok menjadi satu-satunya suara yang terdengar, mengiringi keheningan mereka. Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk membicarakan masalah yang belum selesai. Mereka tak ingin kesalahpahaman terus berlarut-larut.
"Mas..." Raihana membuka percakapan dengan suara pelan, matanya menunduk, menghindari tatapan tajam Alvarez. "Sebenarnya, sebelum berita itu menyebar, saya ingin bercerita. Tapi ada banyak hal yang harus saya pertimbangkan."
"Pertimbangan?" sahut Alvarez dengan nada penuh emosi. "Pertimbangan apa yang membuat kamu tidak bercerita? Ini soal ayah, kan?! Bahkan dia sendiri tahu kalau kamu masih istri saya Raihana! Saya merasa asing di hubungan ini!" Bentakannya menggema di ruangan, membuat suasana semakin tegang.
"Maafkan Hana, Mas," ucap Raihana dengan suara bergetar. "Saya hanya mencoba menyelesaikan semuanya sendiri."
Dia memang berniat berbicara dengan sang ayah untuk menyelesaikan masalah itu, tetapi rencananya terhenti saat foto mereka sudah lebih dulu tersebar di media.
"Hana, saya rela jika kita harus dipisahkan untuk sementara waktu. Tapi demi apa pun, saya tidak akan pernah rela jika kita dipisahkan untuk selamanya. Kamu istri saya, Raihana Siena Mahardika Navrendra!" Alvarez menatap punggung istrinya yang bergetar, amarahnya perlahan mencair.
Raihana menghapus air mata yang mulai jatuh. "Maaf, Mas. Hana tidak tahu masalah ini akan sebesar ini. Tapi satu hal yang perlu Mas tahu, sampai kapan pun, lelaki yang selalu saya doakan sejak dulu hingga sekarang namanya masih tetap sama, that is, you are the father of my child."
Alvarez mendengar kata-kata itu, dan senyum tipis tersungging di wajahnya. Ia mendekati istrinya dan memeluknya erat. "Dari dulu, hanya suaramu yang mampu memadamkan amarah di dalam diri saya. Je t'aime, Raihana." Ia mengecup kening istrinya dengan lembut.
Setelah percakapan emosional itu, Alvarez bersiap untuk pergi ke bandara. alvarez menitipkan secarik kertas yang dibaluti oleh amplop untuk diberikan kepada adanan, dirinya harus pergi ke Yordania secepatnya karena banyak pekerjaan yang ia tinggali secara mendadak.
di tengah perjalanan Alvarez meminta untuk terlebih dahulu mampir kerumah Eric sang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa
"loh kapan kamu sampai?" tanya Eric melihat sang sahabat tengah berdiri di hadapannya
"ini tidak di suruh duduk dulu, masa udah ditanyain ini itu" canda Alvarez
"oh ya harusnya karpet merah juga dibentangkan nih, menantu presiden datang harus sempurna" balas Eric membuat mereka berdua tertawa, inilah suasana yang mereka rindukan walau beberapa kali berjumpa di Yordania, rasanya berbeda bila bercengkrama ditanah yang mereka rela mati demi membelanya.
"kabar kamu bagaimana?" tanya Alvarez
"saya sih baik, tapi seperti nya orang yang dihadapan saya ini yang tidak baik, kamu abis berantem?" ucap Eric setelah memperhatikan wajah sahabat nya itu
"ya begitulah, kamu tau Pradana?" tanya Alvarez
"pengusaha yang di kabarkan dijodohkan dengan Raihana?" tutur Eric ia berpikir sudah pasti karena berita yang beredar kemarin
"ya begitulah, lelaki tak tau malu itu bikin kesal saja, ric bisa saya minta bantuan mu?" ucap Alvarez
"boleh saja apa kamu mau saya bantu apa? sejak kapan saya menolak membantu kamu?" tutur Eric
"kamu jagain Raihana selama saya di Yordania ya" ucap alvarez sambil menatap Eric yang seperti nya terkejut
Eric menatap Alvarez dengan dahi berkerut, mencoba mencerna permintaan sahabatnya. Setelah beberapa detik hening, dia akhirnya membuka suara.
"Al, serius nih? Kamu mau saya jadi ajudan istrimu?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri. "jendral Alvarez yang terhormat saya ini sahabatmu, kenapa tiba tiba jadi ajudan istrimu?"
Alvarez mengangguk dengan mantap. "Serius, Ric. Saya percaya sama kamu. Raihana kan sudah kenal sama kamu dari lama sejak kamu jadi ajudan ayahnya, pasti dia lumayan nyaman, apalagi kamu sahabat saya. terus sebagai tentara yang punya karier menterang pasti acara acara formal kamu dapat undangan, Ini juga soal kepercayaan ric."
Eric menghela napas panjang, lalu menatap Alvarez dengan ekspresi putus asa. "Denger, ya. Waktu kamu pacaran sama Raihana, saya yang sering nemenin kamu beli bunga, jemput dia, bahkan ngasih ide dinner. Sekarang, setelah seperti ini, saya diminta jadi ajudan? seperti nya memang takdir saya jadi ajudan, masa sudah berhenti di tentara tetap jadi ajudan sih"
Alvarez tertawa kecil. "ini kehormatan ric, Kamu udah dapet kehormatan sebagai sahabat terbaik yang pernah ada. terus kamu dapat kehormatan untuk jadi ajudan istri jendral dan putri presiden."
Eric memutar mata. "kehormatan nggak bisa buat bayar nasi goreng, Al."
Mendengar itu, Alvarez tertawa semakin keras. "Ric, ayo dong. Ini serius. Saya nggak mau ada drama lagi selama saya di Yordania. Kamu cuma perlu jagain Raihana, pastikan dia aman. saya tidak mau ada pradana lain!"
Eric mendesah, lalu menatap Alvarez dengan ekspresi skeptis. "aduh ini yang orang lain bilang kamu ini lelaki yang cuek?, memang cocok kamu jadi jendral sukanya mantau dari jauh"
Alvarez tersenyum lebar, tidak merasa tersinggung. "Tapi, beda. Raihana masih istriku. Kamu ngerti maksudku kan?"
Eric berpikir sejenak, lalu mengangkat tangan seolah menyerah. "Baiklah. Saya bantu, tapi ada syaratnya."
"Apa? Katakan saja," sahut Alvarez cepat.
"Kalau saya harus ikut acara-acara formal Raihana, kamu tanggung biaya jas saya. Dan satu lagi, saya nggak mau disuruh nyetir," ujar Eric tegas
"kalau soal itu tenang saja, soal nyetir itu urusan Ilham" ucap Alvarez dengan senyum kemenangannya
"mentang mentang udah jadi pengusaha nih ya, aish Al, untung kamu sahabat saya kalau tidak udah di usir sejak tadi" kesal Eric
mendengar hal itu Alvarez hanya tersenyum dan menikmati secangkir kopi yang disiapkan sebelum dirinya pamit untuk kebandara
"ric saya pamit dulu ya jangan lupa tugas barunya, you are my best friend!" ucap Alvarez sambil memeluk sahabat nya itu
"ini namanya dapat sahabat terus di kontrak seumur hidup mah" ucap Eric sambil menatap kepergian mobil sahabat nya itu
•
•
•
"sahabat sejati tidak akan peduli seberapa baik dan seberapa buruk dirimu tapi dia berusaha mengubah mu menjadi yang terbaik" -Eric Andreas Pramayoga

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dan Kesetiaan
Ficción GeneralTanpa cinta dunia ini hampa dan tanpa kesetiaan cinta itu tidak ada