Unhealthy Relationship || Eighth

6.4K 404 5
                                        

Warning!
Part ini mengandung banyak sekali typo!
Happy Reading!
°°°°°

Jari jemari Jay terus bergerak membalas setiap bubble pesan yang dikirim Hazel, ia juga memberikan foto dirinya sekarang. Tanpa menunggu respon apa pun lagi dari Hazel, Jay menyimpan ponsel milik Ravin ke atas sofa. Sudah 2 hari ini Ravin sedang menjalankan pemulihan di rumah sakit dan perkembangannya cukup bagus. Jay mendongak menatap  remaja laki-laki seumuran dengannya itu sedang mengerjakan tugas sekolah.

Semenjak Ravin masuk rumah sakit, Jay sering bertemu dengan Dhafi seperti sekarang ini. Ia sedang berada di apartemen lelaki itu, mendampinginya mengerjakan tugas sekolah di bandingkan menemani sang kekasih di rumah sakit.

Ponsel Ravin pun dia bawa, Jay mengubah posisinya menjadi duduk di sofa. Ia sebenarnya bosan, biasanya jika mereka bertemu Jay dan Dhafi selalu melakukan skinship tetapi kali ini tidak karena Dhafi yang mendapatkan tugas sekolah cukup banyak, sekitar ada 4 tugas yang harus dia kerjakan malam ini juga.

Bisa saja Jay mengganggu namun dia sedang malas, tidak tahu mengapa, ini tidak biasanya. Ia merasa uring-uringan sendiri. "Dhafi, gue mau pulang," ucap Jay tiba-tiba mengalihkan fokus Dhafi yang sedang mengerjakan tugas.

"Kenapa?" tanya Dhafi mengangkat sebelah alisnya dengan wajah heran.

"Gue bosen, gue mau pulang." Jay mengulang beberapa kata yang sebelumnya sudah dia ucapkan.

Dia berdiri dari duduknya, Jay mengambil jaket yang sempat dia lepas dan memakainya kembali. "Kamu belum lama datang ke sini Jay, biasanya kamu pulang malem. Sedangkan sekarang baru aja jam setengah 7," papar Dhafi. Sejujurnya, ia tidak ingin Jay pulang lebih awal.

Sat itu juga, Jay mendatarkan ekspresi wajahnya, siapa Dhafi? Kenapa perkataan lelaki itu seolah mengungkapkan aturan untuk nya? Dhafi bukan siapa-siapanya, dia tidak ada berhak untuk mengaturnya bahkan Ravin sendiri, orang yang berstatus sebagai kekasihnya tidak pernah Jay izinkan untuk mengatur hidupnya.

"Gak usah ngatur, lo bukan siapa-siapa," celetuk Jay, dia mengambil ponsel Ravin yang tergeletak di sofa. Tanpa mengatakan apa pun lagi dia beranjak pergi dari hadapan Dhafi, sang empu menatap punggung Jay yang perlahan hilang dari pandangannya.

Dhafi menghela napas kasar sebelum melanjutkan mengerjakan tugasnya lagi, Dhafi tidak bermaksud untuk mengatur. Dia sedang tidak ingin sendiri, Dhafi membutuhkan seseorang untuk menemaninya di apartemen yang penuh kesunyian ini, setidaknya sampai dia mengantuk.

Jay menunduk melihat jam tangan yang bertengger apik di tangan kirinya, ini masih awal, dia tidak tahu harus pergi kemana lagi. Jay tidak ingin pergi ke rumah sakit, dia sedang tidak mood untuk bertemu Ravin.

Bruk.

Tumpukan buku yang di bawa seseorang berhamburan ke lantai, Jay segera berjongkok sembari meminta maaf kemudian memungut buku novel yang berserakan di sana. "Gak apa-apa, ini bukan salah kamu sepenuhnya."

Pergerakan Jay yang sedang membantu mengambil novel seketika berhenti, suara yang terdengar tidak asing dan sudah lama juga ia tak mendengarnya membuat darahnya berdesir. Bak slow motion Jay mendongak, tatapan keduanya saling beradu satu sama lain selama beberapa detik.

Deg.

Sontak seluruh tubuh Jay menegang, jantungnya berdetak dua kali lipat. Setelah sekian lama tidak bertemu, dan Jay mencoba untuk melupakan nya kenapa harus di pertemukan lagi? Jay sudah berharap jika suatu saat, ia tidak ingin bertemu dengannya lagi namun takdir berkata lain.

°°°°°

Awalnya dia tidak ingin pergi ke rumah sakit untuk menemui Ravin namun setelah pertemuannya dengan seseorang membuat Jay berubah pikiran, kini lelaki itu berjalan di lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap.

Pandangannya menatap lurus ke depan dengan isi kepala yang begitu berisik, beberapa meter lagi ia akan sampai ke tempat tujuan tetapi Jay menghentikan langkah nya. Dia bersembunyi di balik tembok dan mengintip seseorang yang baru saja keluar dari ruang rawat inap.

Siapa dia? Kenapa tiba-tiba keluar dari sana? Hazel? Marva? Jay rasa tidak mungkin, jika iya itu mereka berdua, Hazel maupun Marva tidak akan bertingkah konyol dengan menggunakan pakaian tertutup seperti itu, terlihat seperti orang penyusup.

Nampaknya, ia harus segera mancari tahu. Jay menarik kepalanya dan menempelkan tubuhnya ke tembok saat orang itu akan melewatinya, pandangan Jay menajam begitu matanya melihat sebuah gantungan di tangan orang itu.

Gantungan sayap?

Lagi, Jay merasa tidak asing dengan gantungan tersebut. Ia seperti pernah melihatnya namun Jay lupa di mana, punggung orang itu perlahan hilang. Ia keluar dari persembunyiannya, melangkah cepat menuju ruang rawat inap.

Jay membuka pintu, di sana terlihat seorang wanita berpakaian perawat, dia nampak terkejut melihat kedatangan Jay secara tiba-tiba. Remaja itu berjalan mendekat, "Siapa?" tanya Jay.

Perawat itu mengerutkan dahinya, dia tidak paham maksud dari pertanyaan Jay. "Maksud Anda?" Perawat itu bertanya balik.

"Tadi gue lihat ada orang yang keluar dari sini, siapa?"

Perawat itu semakin bingung, ada orang lain di ruangan ini dan sudah keluar? Sedari awal dia masuk, ia tidak mendapati siapa pun di sini selain pasien. "Sedari awal, saya tidak melihat ada orang lain di sini, mungkin saja Anda salah lihat," jelas perawat tersebut.

"Lo gak bohong?" Jay memicingkan kedua matanya mencoba mengintimidasi perawat itu agar berkata jujur, "Tidak, saya tidak berbohong," keukeuhnya, tidak merasa terintimidasi sedikit pun karena yang dia katakan itu kenyataan.

"Kalau aja lo ketahuan bohong, habis lo sama gue!" ancam Jay. Sudut matanya melirik kearah brankar melihat Ravin yang sedang memejamkan mata, selain perawat--- Jay juga harus bertanya pada kekasihnya.

Dia akan menunggu anak itu bangun, Jay mendudukkan dirinya di sofa. Perawat itu segera keluar setelah melakukan tugasnya, meninggalkan Jay yang termenung dengan pikiran yang kacau.

Lelaki jangkung itu bersandar, dia menutup wajahnya lalu mengacak rambutnya yang semula tertata rapi kini berantakan. "Kenapa harus muncul di saat gue udah coba lupain dia? Sial!"

°°°°°

"Jay? Bisa pindah gak? Bahu gue sakit."

Ravin melontarkan satu permintaan beserta alasannya, sudah hampir 10 menit Jay menjadikan bahunya sebagai bantal lelaki itu. Padahal Jay tahu sendiri kalau bahunya ada sedikit masalah, namun lelaki itu malah memperparah dengan menjadikannya bantalan.

Posisi mereka saat ini berada di brankar, tempat itu cukup besar untuk di tempati dua orang. Jay menyimpan kepalanya di bahu kanan Ravin dengan wajah yang menghadap ke leher jenjang sang kekasih, ia tidak peduli dengan risiko yang akan terjadi.

"Enggak, tahan sebentar. Gak usah lebay lo!" sarkas Jay, kedua mata pria itu terpejam namun telinganya masih bekerja dengan baik.

Mendengar itu, Ravin berdecak pelan. Enteng banget bicara seperti itu, Jay tidak pernah berada di posisinya makanya dia bicara asal. Ravin tidak tahu apa yang membuat Jay seperti ini, akan tetapi ia tidak peduli.

Lelaki manis itu memandang langit-langit ruang rawat inap, meski kepalanya berdenyut, otaknya terus dia gunakan untuk berpikir bagaimana cara dia melepaskan jeratan tali tak kasat mata yang di buat oleh Jay padanya.

Tidak peduli jika harus cara kotor sekali pun, yang penting dia lepas dari kehidupan Jay. "Jangan pernah berpikir sekali pun untuk lepas dari gue Ravin, sampai kapan pun itu gak akan pernah terjadi kecuali--- mati!" kata Jay tiba-tiba membuat Ravin tersentak.

Ia diam selama beberapa saat sebelum menanggapi perkataan Jay. "Lo cenayang?" tanya Ravin, dia menahan napas begitu terpaan hangat yang berasal dari hidung Jay itu mengenai kulitnya.

Walaupun sedari tadi pun seperti itu namun kali ini rasanya sedikit berbeda, tanpa sadar Ravin menelan ludahnya susah payah. "Bukan, gue cuman nebak." jawab Jay. "Lo nanya gitu, itu artinya tebakan gue tepat sasaran. Right?"

"Jangan harap Ravin, sekali pun lo pake cara kotor. Lo gak akan pernah gue lepas gitu aja kecuali lo mati!"

To Be Continued
26 September 2024

Unhealthy Relationship ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang