48

44 6 0
                                    

Aku nggak tahu, apakah Mas Taka akan menyukai bubur sumsum dan puding regal buatanku ini. Biar saja kalau dia tidak mau memakannya. Yang penting, aku membeli semua bahan-bahan ini tidak dengan uang pribadiku sendiri.

"Cucu nenek ternyata pintar memasak..."

"Terpaksa karena keadaan, nenek." Aku mengulas senyum tipis. "Aku yang selalu melakukan apa-apa sendirian di rusun ---" Haruskah aku mengingatnya kembali semua hari-hari berat yang pernah kulalui sendiri itu...? "Bikin ketupat sendiri, masak ayam opor sendiri, pulang sholat ied, aku juga makan sendirian.."

"Mas nggak ngizinin kamu...!"

Aku mendelik ke arah Mas Tama. Datang-datang, dia bicara dengan nada tinggi.

"Jenguk orang sakit itu ada pahalanya, mas. Lagian, sebelumnya juga Mas Tama kan sering main ke rumahnya Pak Mike."

"Biarkan saja adikmu, Tama. Kamu ini, kalau semua-semua dilarang, bisa-bisa nanti adikmu tidak betah disini.."

"Bener kata nenek. Kalau nanti aku nggak betah, aku tinggal balik aja ke rusun."

Zilan lagi belajar di kamarnya. Semoga aja dia bisa sabar, dengan tidak coli sendirian. Karena aku pun, sampai detik ini masih coba menahan untuk tidak mengeluarkan harta karun di dalam tubuhku ini.

"Aku mau jenguk Mas Taka, ya.."

"Mas yang antar.."

"Aku nggak lupa ya, mas.." Kuletakkan selotip yang sedang kupegang. "Waktu aku masih tinggal disana, aku ingat sekali kalau Mas Taka sudah ngobrol sama Pak Mike, itu bisa sampai berjam-jam lamanya."

"Karena mas sedang membicarakan sesuatu yang penting."

"Apa bedanya? Kalau aku kesana nggak sampai setengah jam, tapi ternyata Mas Tama lagi serius ngobrolnya? Masa iya, aku harus ikut duduk mendengarkan..?"

"Setengah jam.." Mas Tama mengangguk.

"Aku sama Zilan aja ya nek, perginya."

"Tidak!"

"Mas Tama, Zilan sama Alden itu kan musuhan. Dengan adanya Zilan, udah pasti mereka nggak akan bisa menahanku lama-lama."

"Kamu itu selalu saja mencampuri urusan adikmu.." Kakek muncul dari pintu samping. "Dulu-dulu, mana pernah kamu mau menginjakkan kaki lama-lama di rumah ini.."

"Kakek udah ada calon buat Mas Tama..?" Tanyaku, dengan sebuah ide yang melintas begitu saja di kepalaku

"Calon apaan..?!"

"Sudah waktunya loh, kakek sama nenek punya cucu.."

"Benar yang dikatakan adikmu. Sudah waktunya kakek mendapatkan calon penerus dari keluarga ini..."

"Kalau dilihat dari fisik, dan penampilan luar --- aku yakin, pasti banyak wanita yang mengantri untuk menjadi isterinya Mas Tama.."

"Adikmu saja bisa berpikiran sejauh itu. Nanti malam, kakek akan mengajak relasi kakek untuk makan malam. Dia punya anak gadis. Siapa tahu saja, dia jodohmu.."

"Aku mau ganti baju dulu.." Sambil lewat, aku goda Mas Tama. "Buat anak yang banyak ya, mas. Biar rumahnya nggak sepi."

Aku segera naik menuju lantai atas. Keluar dari lift, aku telepon Pak Agus melalui telepon kabel yang memang khusus digunakan untuk menghubungi setiap ruangan, dan bangunan, yang ada di rumah kakek.

"Pak, anterin aku ke rumahnya Pak Mike. Sepuluh menitan lagi aku siap.."

'Baik, Den Bryan..'

Kamarnya Zilan ada di ujung lorong. Berani juga dia tidur sendirian di kamarnya.

Aku ketuk pintunya. Agak lama, dia baru membukanya. Hal pertama yang kulihat adalah, wajahnya yang begitu tegang, merah, dan berkeringat.

The Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang