34

339 58 4
                                    

Rusun tempat tinggalku seketika menjadi terkenal, dan pusat pemberitaan dimana-mana. Namun sayangnya, terkenal bukan karena sesuatu hal yang bersifat positif, atau bisa dibanggakan.

Melainkan karena, aku menemukan potongan kepala dari sosok manusia yang telah kukenal sebelumnya, di dalam freezer kulkasku sendiri!!

Meskipun aku dilarang sama sekali untuk menonton berita di tv, tapi tetap saja ekspresi wajah dari potongan kepala Bang Roki yang ada di dalam freezer, nggak bisa secepat mungkin kulupakan.

Bagaimana kedua matanya yang memelotot, menatap padaku. Dengan lidahnya yang menujulur keluar.

Satu-satunya hal yang bisa membuatku lupa sementara akan kejadian itu adalah, dengan melihat sosok yang kini sedang berdiri di area parkiran.

"Jagain adekku baik-baik ya, mas. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya."

"Baik."

Bisa-bisanya abang secepat itu mengakrabkan diri sama Mas Taka. Dan yang paling utama adalah, sikap Mas Taka yang berubah sedrastis itu kepadaku.

Jika dia memang digaji besar oleh kakeknya Zilan, kenapa dia nggak memilih untuk tetap menjadi pengawalnya Zilan...?

Dan lagi, kenapa ekspresinya biasa saja saat dia tahu kalau aku ini sebenarnya bukanlah adik kandungnya...?

"Kamu, agak berisi." Suara Mas Taka memecah keheningan.

Dia tidak lagi dingin dan acuh. Ekspresi wajah, nada bicara, juga tatapan matanya, kini benar-benar berbeda.

"Aku sudah ketemu dengan orang tua kandungku."

"Hmmm, baguslah." Sekarang dia tersenyum. "Maaf, kalau selama ini mas menutupinya."

Papa memang seorang pengacara terkenal, dan kaya. Tapi kekayaan kakeknya Zilan jauh melebihi kekayaan papa.

Apa mungkin, Mas Taka masih menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui...?

Kenapa dia lebih memilih tinggal di rumah papa, serta bersedia menjadi supir pribadiku, padahal bayarannya tidak seberapa...?

Begitu sampai di rumah, semua pintu langsung aku kunci. Jangan sampai orang itu masuk ke dalam rumah ini. Biar saja dia tinggal di rumah sebelah, sambil mengurusi semua kendaraan yang ada di garasinya.

Aku nggak akan peduli dengannya. Mau dia sudah makan atau belum. Mau dia badannya kurus kering, karena nggak pernah minum vitamin. Aku nggak akan pernah ikut campur lagi, dengan kehidupannya!

Sorenya...

Sejahat-jahatnya aku, aku nggak akan sampai setega itu dengannya. Kubuatkan dia mie rebus telor, dengan segelas susu dingin. Aku ambil sedikit susunya papa, terus aku campur dengan susunya abang.

Sebelum aku buka pintu, aku intip dulu dari balik tirai jendela ruang tamu. Betapa terkejutnya aku, ketika mendapati sesosok pria tinggi sedang berdiri menatapku dengan dua matanya yang tegas dan dingin.

"Om Tama..."

"Dia --- apa yang sedang dilakukannya?"

Dari garasi rumah sebelah, Mas Taka sedang menatap ke arahku.

"Masuk dulu, om." Setelah kupersilahkan Om Tama masuk, aku bergegas memberikan makanan yang sudah kubuat, ke Mas Taka.

"Jauhi dia!" Tegas Mas Taka. "Dia itu orang yang sangat berbahaya! Kamu tidak boleh dekat-dekat dengannya!"

"Aku lebih tahu, dari Mas Taka. Sebaiknya Mas Taka jangan ikut campur.."

Ketika melihat raut wajah, dan suaranya itu, seketika rasa benci kembali meliputi. Aku seolah tersadar, bahwa dia itu bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Baik aku dan dia, sama sekali tidak ada hubungan pertalian darah. Itulah yang membuat dia, melupakanku. Menganggapku sebagai orang asing dalam kehidupannya.

Om Tama langsung menggendongku. "Saya punya waktu sampai dua jam ke depan, untuk menikmati seluruh tubuhmu yang manis dan indah ini.."





Setelah menumpahkan air pipisnya ke dalam mulutku, Om Tama kembali memakai celananya. Pergumulan panasku dengan Om Tama barusan, sepertinya sukses menghapus akan bagaimana mengerikannya potongan kepala Bang Roki yang kutemukan di dalam freezer kulkasku.

Om Tama melihat-lihat beberapa bingkai foto milikku. Sebenarnya bukan asli punyaku. Tapi foto-foto itu kebanyakkan punya Mas Taka. Hanya saja, aku ambil kemudian aku belikan bingkai sendiri.

"Foto kamu cuma ada tiga.."

"Memang."

Melihat punggung Om Tama yang kokoh, dan kekar, membuat aku ingin melekat terus disana selamanya.

Aku naik ke atas kasur, kemudian naik ke punggungnya. Dia cuma menoleh sekilas sambil tersenyum. Kuciumi pundaknya intens. Kulitnya yang putih mulus, dan harum...

Karena aku terlalu asyik menciumi kulit tubuhnya, aku sampai tidak sadar kalau Om Tama sedang melamun, sambil memegang sebuah bingkai foto.

"Om Tama.."

Matanya mengerjap. Kucium pipinya. Dia agaknya terkejut.

"Rumah ini..."

"Nggak tahu. Aneh emang hobinya Mas Taka. Suka foto-foto rumah orang..." Ucapku. "Kalau yang itu, rumahku yang dulu, om. Rumahnya besar. Tapi --- kebakaran. Ini kamarku. Waktu itu Mas Taka yang foto, sebelum..."

Om Tama tiba-tiba memaksaku buat turun. Dia tarik tanganku, kemudian dia buka kaki kiriku lebar-lebar. Entah apa yang dia lakukan, tapi dia hanya berjongkok, sambil melihat ke arah selangkanganku.

"Itu tanda lahirku, om." Entah kenapa, aku malu saat Om Tama memperhatikan noda cokelat seperti tompel yang terdapat pada bagian dalam paha kiriku.

Ekspresi serta tatapan Om Tama seketika berubah drastis. Sambil bangkit kembali, dia tak pernah melepaskan sedikitpun wajahku dari pandangannya.

Sampai kemudian, tangannya yang kekar itu menjulur. Melewati leherku. Meraih sesuatu dari gantungan, tempat biasa aku menyimpan dasi sekolah, dan juga topi.

"Gelang itu udah jelek. Jadi nggak pernah aku pakai lagi."

Gelang itu aku dapatkan dari Mas Taka. Bukan gelang mahal. Cuma gelang murahan biasa, yang sebagian kecilnya sudah hangus karena terbakar.

Tadinya aku mau menyimpan barang itu selamanya. Karena kupikir, hanya gelang itu saja satu-satunya yang bisa kubawa dari kamarku, sebelum peristiwa kebakaran itu terjadi.

Bukannya cepat-cepat berpakaian, tapi Om Tama malah duduk lagi di tepian kasurku, dengan tatapan seolah kosong.

"Sebentar lagi, abang pulang.." Aku sengaja mengeraskan suaraku, sambil berpakaian kembali. Maksudnya biar Om Tama sadar. "Aku harus mandi yang bersih..."

Dengan gerakkan kaku, Om Tama menoleh. Tanpa mengatakan apa-apa, dia pun berpakaian kembali. Setelahnya, dia pergi begitu aja meninggalkan rumah ini.

Dan itulah kali terakhir aku bertemu dengannya. Karena selama hampir 3 bulan lamanya, dia tidak pernah lagi main ke rumah papa, apalagi menghubungiku secara pribadi.

• • •

The Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang