53

50 6 0
                                    

"Mas Tama!"

Mas Tama malah balik memelotot. "Berani kamu bentak kakakmu..?!"

"Aku dudukkin lagi nih kontolnya! Mau...?!"

Bola matanya bergerak liar. Ekspresi kemarahan, seketika memudar. Bergantikan dengan raut salah tingkah.

"Aku ini cuma ke Raffles. Besok juga udah pulang lagi. Nggak harus sampai bawa koper ---"

"Jangan ngeyel! Mas tahu, kalau acara adat jawa begitu, pasti lama. Bisa-bisa kamu berdiri berjam-jam lamanya."

Kupanjangkan tanganku, mengincar kontolnya. Namun dia tepis, seraya menjauh.

"Jangan macam-macam..!"

"Yang duluan siapa..?!"

Waktu terbuang sia-sia, cuma karena perdebatan konyol dengan pria tampan dan gagah, yang ternyata adalah kakak kandungku sendiri.

Tok.. Tok..

"Den, mobilnya sudah siap."

Mas Tama meraih pegangan koper besar punyaku. Dengan wajah angkuh, dia menariknya.

"Mas.." Aku dekati dia. Bahkan aku hadang langkahnya. "Emangnya salah ya, kalau kakak adik berhubungan badan..?"

Tanpa kuduga dia malah menjitak kepalaku dengan sekuat tenaga.

"Hanya orang yang nggak waras, yang melakukannya..."

"Kita kan sesama pria, Mas Tama. Nggak mungkin aku bisa hamil." Aku terus memaksanya. "Tapi yang waktu itu, Mas Tama nafsu banget.."

"Tadi bilangnya telat.."

"Gini aja deh, aku akan ngegagalin acara pertunagan Mas Tama sama cewek anak dari relasinya kakek. Asalkan ---"

"Mas juga bisa marah..."

"Seminggu sekali...?"

"Minggir.."

"Sebulan sekali deh, gimana..?"

"Minggir.."

"Setahun se --"

"Oke!"

"Ratus kali..."

Aku menganga keheranan tak percaya, begitu juga dengan kakakku itu. Kami berdua, seperti orang bodoh saja.

"Seratus kali ya, mas."

"Jebakan licik macam apa itu..?"

Seperti biasa, aku diantar Pak Agus menuju Raffles. Kalau dipikir-pikir, Mas Tama itu meskipun wajahnya selalu terlihat angkuh dan dingin, tapi dia bisa juga melucu.

"Pak Taka tidak ada di rusun, dan coffee shopnya Pak Novan, den."

"Kemana lagi sih, itu orang.." Kulemparkan pandanganku ke arah luar.

Harusnya aku tidak secemas ini memikirkannya. Toh, dia juga bukan kakak kandungku. Lagian, dulu kan aku sendiri pernah berdoa agar dia dilenyapkan aja dari dunia ini.

"Yaudahlah, pak. Lagian Pak Anjas sama Pak Panji, lusa sudah mulai kerja sama kakek."

"Terima kasih ya, den. Den Bryan sudah membantu saya dan kedua rekan saya."

"Jangan cuma terima kasihlah, pak. Enak banget kalau cuma begitu. Apalagi, kakek sudah memberikan gaji besar."

"Apa mau sekarang, den..?"

Dengan antusias, aku langsung menatap Pak Agus dengan mata berbinar-binar.

"Bukan aku yang minta, ya. Inget, bukan aku yang minta.."

The Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang