46

61 5 0
                                    

Samar-samar aku mendengar suara orang tertawa. Kubuka mataku perlahan. Suara itu terdengar makin jelas. Begitu kesadaranku kembali, kulihat satu sosok sedang duduk di ujung kasur, sambil menonton televisi yang layarnya besar sekali.

Om Tama menoleh sekilas. Kulihat matanya merah, dan sedikit basah. Kemudian dia lanjut menonton kembali, sebuah rekaman video, yang kualitasnya tidaklah begitu jernih.

'Ma..!! Mama, adek udah bisa jalan...!'

'Pah lihat, Zilan kecil sudah bisa jalan...!'

'Hebatnya jagoan papah...!'

Aku duduk bersandar pada kepala ranjang. Seperti orang yang sedang kurang kerjaan saja. Tapi entah kenapa, aku malah ikut larut menikmati tontonan tersebut.

"Saya tidak pernah tahu apa yang diinginkannya.." Suara Om Tama terdengar pelan sekali. "Yang dia tahu, hanya menangis, menangis, dan terus menangis..." Om Tama menghela. Kemudian bahunya bergoyang. "Saya begitu benci dengan suara tangisannya. Hingga saya pernah memukulnya sekali..."

"Ternyata Zilan cengeng ya, om..?"

Om Tama mengintip dari sebelah pundak kirinya. "Zilan..."

"Ngomong-ngomong..."

Dia mematikan televisi. Kemudian dia bangkit. Berjalan menuju ke dekat sofa panjang, kemudian dia raih troli atau kereta makanan, yang biasa ada di restoran atau hotel itu.

Om Tama duduk di dekatku. Dia tertawa kecil, kemudian mengacak rambutku.

"Mulut kecil yang tak pernah berubah.." Kedua matanya yang cemerlang, menatapku lembut. "Zilan..."

"Hah...?"

Dia mengambilkanku segelas susu. Aku nggak tahu, sudah berapa lama susu itu ada di suhu ruang. Tapi saat kuteguk, rasanya masih segar di mulutku.

Pintu kamar yang ada di ujung sana terbuka. Aku baru sadar, kalau jarak antara pintu dan kasur yang sedang kutempati ini, lumayan jauh juga.

"Cucu kakek akhirnya bangun juga.."

"Cucu...?" Aku menoleh pada Om Tama. "Ini, ada apa ya...?"

"Tidak salah lagi. Kamu memang benar cucuku. Cucu yang kukira sudah meninggal..."

"Kakek, mungkin kakek salah orang..."

"Perlukah kita melakukannya lagi?" Kakek itu berbicara dengan Om Tama.

"Nggak, kek. Karena aku yakin, kalau dia adalah adik kandungku..."

"Om Tama...?"

Nenek tua, maksudku isteri dari kakek ini --- neneknya Zilan, masuk sambil membawa...

"Itu kan kotak punyaku...?!"

Nenek itu malah menangis. Dia memegang pipiku lembut, dan air matanya semakin bertambah banyak.

"Maaf, ini ada apa ya..? Kenapa aku ada disini...?"

"Kamu ada disini, karena memang disinilah seharusnya kamu berada. Cucu nenek --- Zilan..."

"Nenek, aku Febryan. Bukan Zilan."

"Febryan itu adalah nama yang diberikan bajingan itu!" Suara Om Tama meninggi. Tapi kakek langsung memukul lengannya.

"Pelankan suaramu!"

"Zilan memang pernah bilang, kalau Om Mike itu bukan orang tua kandungku..."

"Memang bukan.." Om Tama yang jawab.

Kutatap balik dia, tanpa perasaan takut sedikitpun.

"Lalu, siapa orang tuaku yang sebenarnya? Dan dimana mereka sekarang...?"

The Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang