50

48 6 0
                                    

Manusia mana yang bisa selamat dari sebuah tabarakan, kalau kondisi motornya saja sampai ringsek nggak berbentuk seperti itu.

Meskipun baru kenal singkat, tapi ada rasa sesak yang menghimpit dada, saat melihat jasad Mas Wira yang sudah terbungkus kain kafan itu.

Aku ingin menangis. Aku ingin memeluk tubuhnya untuk yang terakhir. Hanya saja, aku tak bisa melakukannya. Sebab, aku yang sekarang, bukanlah aku yang dulu. Lagi pula, di rumah duka ini banyak keluarga, kerabat, serta rekan sesama polisi yang turut hadir. Pasti mereka akan bertanya-tanya, kalau aku sampai memperlihatkan ekspresi kesedihan mendalam.

Tanganku ditarik menjauh dari keramaian, sama Mas Surya. Cowok yang datang dengannya, sepertinya dia itu adiknya Mas Surya.

"Kamu jangan nekat, dek. Tolong dengarkan, mas.."

"Kendaraan dan orang yang menabraknya, apa sudah diketahui identitasnya..?"

"Belum, dek. Karena kondisi jalan yang sepi, dan ---"

"Mas Surya tahu, kalau Mas Wira juga terlibat dalam penyembunyian jasad Pak Kian..?"

Mata Mas Surya terbelalak. Mukanya pun berubah tegang sekali.

"Jangan katakan apapun. Sebaiknya kamu pulang. Nanti mas akan hubungi kamu lagi."

"Hati-hati ya, mas. Jaga diri mas, dan juga adik mas.."

"Kamu juga, dek."

Aku sampai harus izin pulang, saat jam istirahat. Susah payah, aku ngebujuk Mas Tama supaya dia memberikan izin, juga berbicara kepada pihak sekolah.

Mas Wira...

Saat pertama kali bertemunya, dia itu orang yang lucu, hangat, dan ramah. Gayanya yang tengil, suka cengir-cengir, memang sangat cocok dengan wajahnya yang tampan, tapi juga menggemaskan.

'Dek, keluarin di dalam aja yahhh ---'

Suaranya yang khas. Senyum dan tawanya yang manis. Keringatnya yang harum. Apalagi saat melihat ekspresi wajahnya, ketika dia akan mencapai klimaks.

"Den, Den Bryan..."

Aku tersentak. Kulihat ke arah luar, ada sebuah bangunan bertingkat yang tidak terlalu tinggi.

Hotel...?

"Maaf Den Bryan, saya agak pusing dan lelah."

Rasa sedih itu, perlahan sirna. Berganti dengan sebuah tanda tanya besar, yang kini memenuhi kepalaku.

Apakah ini artinya, Pak Agus sedang memberikan lampu hijau padaku...?

"Iya, pak. Aku juga ngantuk."

Kalau aku membayar dengan menggunakan kartu debit, pasti nanti akan ketahuan oleh kakek dan Mas Tama. Sudah pasti mereka akan curiga, karena aku melakukan transaksi pembayaran di hotel melati.

"Saya sudah reservasi online. Atas nama Agus Suherman."

Aku semakin antusias. Karena pada akhirnya, aku bisa juga mencicipi tubuh gurih Pak Agus yang atletis itu.

Tidak ada lift disini. Namanya juga hotel melati. Yang penting bersih, dan suasananya tidak seram, itu aja aku sudah bersyukur. Karena jarang kan, ada hotel bagus di daerah desa gitu.

Cklek.

Kamarnya ada di paling ujung lorong. Mungkin Pak Agus sengaja pilih kamar ini, supaya suara kami pas sedang memadu birahi nanti, tidak terdengar oleh siapapun.

Ada dua kasur single di dalamnya. Pak Agus duduk di tepian salah satu kasur tersebut. Dia terlihat sedikit gusar, sambil memainkan ponselnya.

Sepertinya aku harus buat pancingan dulu. "Aku mau mandi dulu ya, pak."

The Dark SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang