29. Threads of Existence

2 1 0
                                    

Ruangan itu terasa begitu tenang, namun ketenangan yang semu, seolah segala emosi berkecamuk dalam keheningan yang terjaga. Langit-langit kamar dihiasi lampu gantung sederhana yang memancarkan cahaya hangat, sementara dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan kecil yang tertata rapi, menciptakan atmosfer yang seharusnya menenangkan. Namun, di dalam hati mereka, keheningan itu bagaikan badai yang berputar kencang.

Alara duduk di sisi kasur, punggungnya sedikit membungkuk dan kedua tangannya terlipat di pangkuan. Rambut panjangnya tergerai berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang tampak pucat. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pandangannya kosong, seolah tenggelam dalam perasaan bersalah dan kebingungan yang tidak kunjung reda.

"Maaf, kak," suara Alara yang lirih memecah keheningan itu, nada suaranya bergetar, nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Jeremy yang duduk di sofa di ujung kamar langsung mengalihkan perhatiannya padanya. Ia menatap Alara dengan sorot mata penuh empati, merasakan pergulatan batin yang dialami gadis itu.

Meskipun ruangan itu sepi, pikiran mereka sama sekali tidak tenang. Jeremy menatap Alara, perlahan mencoba mengukir senyum di bibirnya yang sedikit gemetar, berusaha meredakan ketegangan yang terasa berat.

"Kenapa minta maaf? Lo gak salah," ujar Jeremy lembut, suaranya rendah, penuh dengan kehangatan yang mencoba menenangkan hati Alara.

Namun, Alara hanya menggeleng lemah, suaranya hampir tak terdengar saat ia menjawab, "Gue udah bohong sama kakak, sama om Will," ucapnya, menundukkan kepala dalam-dalam. Kata-katanya menggantung di udara, seolah-olah beban berat dari pengakuan itu belum sepenuhnya terlepaskan.

Melihat itu, Jeremy menghela napas panjang. Ia berdiri perlahan dari sofa dan berjalan menghampiri Alara yang terlihat semakin kecil dalam kesepiannya. Suara langkah kakinya yang pelan terdengar jelas di dalam kamar yang sunyi. Ia duduk di sebelah Alara, jaraknya cukup dekat hingga ia bisa merasakan napas gadis itu yang terengah, namun tetap menjaga ruang yang cukup untuk tidak membuat Alara merasa terpojok.

Dengan lembut, Jeremy menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajah Alara, memperlihatkan mata gadis itu yang berkaca-kaca. Ia tahu, di balik wajah yang cantik itu, ada luka yang mendalam, luka yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan dengan kata-kata. Tatapannya penuh kehangatan, dan di saat itu, ia mengerti kenapa Althan begitu protektif terhadap adiknya, kenapa Daniel tanpa ragu memeluk gadis ini ketika ia sedang hancur—Alara adalah seseorang yang layak dilindungi, seseorang yang telah menanggung beban lebih dari yang seharusnya.

"Lo tahu kenapa gue marah sama Laurent?" Jeremy bertanya pelan, suaranya tenang, mencoba mencari celah dalam kebisuan Alara. Namun, gadis itu hanya menunduk lebih dalam, tidak berani menatap wajah Jeremy. Dadanya terasa sesak, ada sesuatu yang menahan lidahnya untuk berbicara. Ia takut salah menafsirkan.

Jeremy tidak mengalihkan pandangannya, suaranya semakin lembut saat ia melanjutkan, "Gue gak suka ada yang ganggu sesuatu yang gue sayang."

Pernyataan itu membuat Alara mendongak tiba-tiba. Matanya yang semula dipenuhi keraguan kini menunjukkan kejutan. Kata-kata Jeremy seolah menamparnya, menyadarkannya pada sesuatu yang ia coba abaikan.

"Lo berharap gue kecewa dan marah sama lo karena lo udah bohongin gue sejauh ini, Alara?" tanya Jeremy lagi, kali ini nadanya lebih tajam, tetapi tetap penuh dengan kelembutan yang membuat Alara merasa terjaga di antara rasa bersalahnya.

Alara hanya bisa diam. Ia tahu, ia tidak bisa menyembunyikan apapun dari Jeremy lagi. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang hampir keluar. Kata-kata Jeremy begitu menusuk, namun ia tahu bahwa semuanya benar. Jeremy layak marah, tetapi mengapa ia tidak marah?

"Gue kecewa," ucap Jeremy akhirnya, suaranya terdengar berat, ada kesedihan yang tergambar di balik kata-katanya. "Tapi kalau marah, gue gak bisa. Sama aja gue sendiri ganggu sesuatu yang gue sayang," lanjutnya, tatapannya tidak pernah lepas dari mata Alara, membuat gadis itu merasa seolah jiwanya telanjang di hadapan Jeremy.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang