18. Twilight whispers

4 1 0
                                    

"Gapapa di sini?" tanya Jeremy lembut, jemarinya merapikan anak rambut Alara yang tergerai. Alara sedang sibuk merangkai crown flower dari bunga daisy, sementara kepalanya bersandar nyaman di pangkuan Jeremy.

"Gapapa, kak. Lagian nggak banyak orang, tenang suasananya," jawab Alara, menghentikan aktivitasnya sejenak dan tersenyum, menatap Jeremy yang juga memandangnya penuh perhatian. Sekilas, dunia seolah hanya milik mereka berdua.

Suasana taman tempat mereka piknik begitu damai. Udara sejuk khas Minggu pagi terasa segar, disertai suara gemerisik angin yang berhembus pelan melalui pepohonan rindang. Hanya ada beberapa keluarga di kejauhan, duduk di atas tikar, dan suara tawa anak-anak bermain yang sesekali terdengar. Matahari pagi bersinar lembut, menyentuh rerumputan hijau dan bunga-bunga liar yang bermekaran di sekitar mereka. Beberapa burung bernyanyi riang, menambah suasana ceria yang membahagiakan.

"Belajar rangkai bunga dari mana?" tanya Jeremy, mencoba membuka obrolan meskipun Alara terlihat nyaman dengan keheningan itu.

"Mama," jawab Alara antusias. "Mama pintar banget. Mama bisa apa aja, tau kak—masak, rangkai bunga, patisserie, bikin kue juga. Kapan-kapan kalau mau, gue bisa bikinin kue buat kakak. Buatan gue enak loh, meski nggak seenak buatan Mama."

Jeremy tersenyum kecil melihat semangat Alara. Senyumnya mengambang, dan tanpa sadar, ia mengambil sebutir ceri dari keranjang kecil di samping mereka dan menyodorkannya ke mulut Alara yang tertawa riang.

"Kalo lo senggang aja, bikin kue kan butuh waktu yang lumayan. Nanti gue abisin sendiri," canda Jeremy sambil tersenyum lebar.

Alara tertawa ringan, namun ia tetap fokus pada rangkaian bunganya. Kegiatan itu berlanjut hingga tiba-tiba debu halus dari bunga daisy yang ia rangkai terbang dan masuk ke matanya. Alara berjengit, lalu dengan refleks bangkit dari posisi terlentangnya, kedua tangan mengucek mata.

"Perih," keluh Alara sambil terus mengucek matanya, wajahnya tampak kesakitan.

"Jangan dikucek, sini," kata Jeremy dengan nada khawatir, jemarinya yang besar tapi lembut menangkup wajah Alara dengan hati-hati. Ia mendekatkan wajah Alara ke arahnya, mengundang rasa tenang di tengah ketidaknyamanan yang dirasakan Alara.

Mata Jeremy menatap tajam, penuh perhatian dan kasih sayang, fokus pada mata Alara yang sedikit memerah. "Jangan gerak ya, gue tiup pelan," katanya, suaranya lembut dan menenangkan. Napasnya terasa hangat saat ia meniup mata Alara dengan lembut, berusaha menghilangkan debu yang mengganggu.

Hembusan angin hangat dari napasnya menyentuh kulit lembut di sekitar mata Alara, memberikan sensasi nyaman yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Jeremy melanjutkan meniup perlahan, memusatkan perhatian pada momen itu, seolah tidak ingin ada satu detail pun yang terlewatkan. Saat ia melakukannya, seolah waktu berhenti sejenak, dan hanya ada mereka berdua dalam dunia kecil ini.

Alara merasakan ketulusan dalam setiap hembusan napas Jeremy. Wajahnya yang lembut mendekat, dan sentuhan lembut jemarinya membuatnya merasa aman. "Gimana, masih perih?" tanya Jeremy lembut, kali ini jarak mereka begitu dekat, mata mereka saling bertautan.

"Nggak terlalu," jawab Alara dengan suara pelan, bibirnya melengkung tipis, merasa lega. Senyum Jeremy mengembang, hangat dan tulus, menebarkan perasaan damai di antara mereka.

Kedekatan ini membuat Alara merasakan gelombang kehangatan yang tak terungkapkan. Ia bisa merasakan detak jantungnya, tidak hanya karena rasa sakit yang baru saja ia alami, tetapi juga karena kehadiran Jeremy di sampingnya. Momen ini terasa lebih dari sekadar perhatian; itu adalah bentuk kasih sayang yang mendalam, sebuah pengingat bahwa di dunia yang kadang membingungkan, ada seseorang yang selalu siap mendukungnya.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang