15. Kaleidoscopics Patterns

9 1 0
                                    

Ruangan UKS terasa sunyi, dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil di sudut, menyorotkan cahaya lembut ke lantai keramik putih. Di dalam ruangan, hanya ada dua tempat tidur besi berlapis kasur tipis berwarna putih, disusun rapi di sepanjang dinding. Di sudut lain, lemari kaca berisi obat-obatan dan peralatan medis sederhana tampak tertata rapi. Bau antiseptik samar memenuhi udara, memberikan kesan ruangan yang bersih namun dingin.

Alara sibuk membungkus es batu dengan handuk kecil, lalu perlahan menempelkannya ke pipi merah dan bengkak milik siswi yang tadi. Suara es yang bergesekan dengan kain terdengar jelas di ruangan UKS yang sepi. Siswi itu menunduk, menghindari tatapan Alara, tubuhnya sedikit gemetar seolah tidak nyaman dengan situasi yang baru saja terjadi. Berkali-kali Alara mencoba bertemu pandang, tetapi siswi itu terus memalingkan wajahnya, membuat Alara merasa sedikit terganggu.

"Kenapa dari tadi ga mau liat gue? Gue ga bakal ngapa-ngapain lo kok," ujar Alara, mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku. Siswi di depannya masih enggan menatap, tetapi setelah beberapa detik, dia akhirnya menjawab singkat, "Terimakasih."

Alara tersenyum, merasa lega bahwa setidaknya sudah ada sedikit respons. Setelah memastikan gadis itu bisa memegang es batu sendiri, Alara duduk di kursi kecil di sebelah tempat tidur. Mereka akhirnya mulai berkenalan, dan gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Kori. Meski suasana masih agak canggung, perlahan-lahan percakapan mulai mengalir lebih lancar.

Hening beberapa saat, Alara tiba-tiba teringat sesuatu yang mendesak. "Kori, siapa nama dua orang tadi yang nyakitin lo?" tanyanya. Kori tampak terkejut mendengar pertanyaan itu, dan dengan ragu, dia bertanya, "Apa lo mau ngasih mereka pelajaran?"

Alara segera menggeleng, "Enggak, gue cuma pengen tahu aja," jawabnya dengan nada meyakinkan.

Setelah beberapa detik keraguan, Kori akhirnya menyebutkan nama-nama itu. "Gavin Arya Mahendra dan Adrian Jovan Saputra," katanya. Alara mencatat kedua nama itu di ponselnya, lengkap dengan kelas mereka. Tepat saat Alara selesai mencatat, suara Jeremy memanggil namanya dari pintu UKS, membuat Alara terkejut dan buru-buru mematikan ponselnya.

Kori tampak cemas melihat Jeremy masuk ke ruangan. "Maaf, aku pergi dulu," ucapnya cepat sebelum bergegas keluar dari UKS, meninggalkan Alara dan Jeremy berdua.

Jeremy tersenyum dengan santai saat menarik Alara dan mendudukkannya di atas kasur UKS. Meskipun wajahnya tampak tenang, Alara masih merasakan ketegangan dari sikap Jeremy di taman tadi. Dia merasa harus waspada, sementara Jeremy terlihat begitu santai seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Sekarang gantian lo jadi pasien," ujar Jeremy, berusaha mencairkan suasana kembali sambil mengambil gel pack dari freezer UKS. Alara baru tahu kalau di sini ada gel pack; makanya dia tadi menggunakan es batu. Dia paham bahwa dia sedikit gelisah karena kejadian sebelumnya.

"Nanti kalo ada tanda-tanda infeksi, kasih tau gue ya. Biar gue kasih obatnya," jelas Jeremy, masih memegangi gel pack itu.

Alara hanya mengangguk singkat, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Jeremy melihat perubahan ekspresi di wajahnya dan melanjutkan, "Lain kali, biarin aja."

Pernyataan itu justru membuat Alara kesal. "Lo tau kan, Kak, itu salah? Gimana bisa dibiarkan? Kalo sampe anak itu—"

"Alara," potong Jeremy dengan senyum tenang sambil menggenggam tangan Alara. "Lo nggak bisa ngelakuin itu tanpa membeberkan status keluarga lo."

Alara membuang muka, perasaan benci menyergapnya. Kenapa harus ada hal seperti itu?

"Gue nggak peduli lo dari keluarga mana, gue juga nggak peduli kalo ternyata lo bukan dari keluarga yang berpengaruh sekalipun. Tapi, Alara, gue nggak mau liat lo sakit kaya gini," jelas Jeremy, suaranya tegas namun lembut. "Gue bisa belain lo kaya tadi, tapi gue nggak selalu ada di samping lo. Gimana kalo ternyata mereka nungguin lo pas pulang sekolah? Gue udah bilang kemarin, gue nggak suka liat lutut lo berdarah, dan sekarang tangan lo memar."

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang