22. Serene Entanglements

3 1 0
                                    

Ruang yang terasa megah dan berwibawa dengan dinding-dindingnya dihiasi panel kayu gelap, sementara jendela besar di belakang meja utama menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit kota yang sibuk. Di atas meja yang berlapis kayu mahoni, berkas-berkas menumpuk rapi, dan seorang pria paruh baya duduk di kursinya yang mewah, dengan raut wajah serius. Tangannya yang keriput namun tegas tengah membolak-balik berkas-berkas yang baru saja diserahkan oleh sekretarisnya. Sesekali, ia mengernyit, menandakan ketidakpuasan terhadap laporan yang dibacanya.

Ketika pintu terbuka, seorang wanita dengan langkah tenang memasuki ruangan, membawa sebuah kotak hitam yang tampak berat. Ia berjalan mantap, tak gentar oleh atmosfer kekuasaan yang memenuhi ruangan. Pria paruh baya itu menoleh, lalu dengan anggukan kepala, ia memerintahkan sekretarisnya untuk meninggalkan ruangan.

"Keluar. Beri kami waktu," ujarnya tegas, namun dengan nada yang seolah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Begitu sekretaris itu menutup pintu di belakangnya, wanita itu dengan segera melangkah maju. Ia meletakkan kotak hitam itu di atas meja, lalu membuka penutupnya dengan hati-hati, memperlihatkan setumpuk foto. Satu per satu, ia menarik keluar lembaran-lembaran foto tersebut dan menyusunnya di hadapan pria itu.

"Ada banyak sekali insiden yang terjadi, tuan," katanya, suaranya datar namun penuh keyakinan. "Saya sudah menangani mereka."

Wanita itu menujukkan foto-foto dua remaja lelaki, diikuti dengan gambar sekelompok remaja lainnya. Pria paruh baya itu mengamatinya dalam diam, matanya menyipit, memperhatikan setiap detail.

"Tentu saja dia banyak bertingkah. Sama seperti wanita itu," desisnya tiba-tiba, nadanya getir, penuh kebencian yang terpendam. "Selalu menganggap dirinya benar, kenapa dia bisa semirip itu dengan ibunya." Ia menggertakkan giginya, ekspresinya berubah tajam.

Wanita itu tetap tenang. "Apa saya harus menyusulnya, tuan?" tanyanya, menunggu instruksi.

Pria itu memegang salah satu foto lebih lama, memperhatikan wajah seorang anak muda yang terus muncul bersama gadis yang menjadi fokus perhatiannya. Matanya menajam, ada kilasan kecurigaan yang jelas terlihat.

"Siapa yang bersamanya? Kenapa anak ini terus ada di setiap foto?" tanyanya, masih menatap foto itu dengan penuh kecurigaan.

"Ah, dia Jeremy Nathaniel Blake, tuan," jawab wanita itu, tak sedikit pun ragu. "Putra tunggal CEO Petropacific. Dia memang sering terlihat bersama. Kalau saya tidak salah ingat, dia juga sering hadir di pertemuan bisnis menemani tuan Blake, dan seingat saya dia juga cukup dekat dengan dua putra Anda."

Pria itu tersenyum dingin, seakan ada pemikiran licik yang mulai terbentuk di benaknya. "Ah, sasaran yang tepat. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Gadis itu mewarisi kelicikan dari ibunya," ucapnya, diiringi tawa kecil yang terdengar sinis. "Dimana anak ini sekarang?"

"Menurut laporan dari orang-orang kita yang mengikuti nona, Jeremy ikut menyusul ke desa itu, tuan," jawab wanita itu tanpa jeda, memberikan informasi yang jelas dan tepat.

Pria itu merenung sejenak, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di depannya. "Aku akan mempertimbangkan apakah aku harus bergerak sendiri membawanya kemari atau membuangnya," katanya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Ibunya melindunginya dari hal-hal ini, tapi dia justru membuat masalah dengan sok menjadi pahlawan."

Ia mendongak, menatap wanita itu dengan pandangan penuh intrik. "Kau awasi saja dia. Biarkan dia melakukan apa pun semaunya. Yang terpenting asetku bisa fokus bekerja sekarang."

Wanita itu mengangguk patuh, sementara pria itu memikirkan seorang remaja lelaki yang tengah sibuk di ruangan sebelah, sibuk mengerjakan proyek berikutnya di meja panjangnya, tanpa menyadari intrik yang sedang terjadi di balik pintu-pintu ini.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang