17. Radiant Moments

5 1 0
                                    

Alara membuka matanya perlahan, kesadaran datang dalam kegelapan yang menyelimutinya. Dia merasakan dingin yang menyentuh kulitnya, dan saat matanya menyesuaikan diri dengan suasana, ia menyadari bahwa dia tidak berada di kamarnya. Ruangan ini gelap, hanya disinari oleh seberkas cahaya dari lampu tidur yang redup di sudut, menciptakan bayangan samar di dinding.

Kepanikan melanda saat dia berusaha mengenali tempat ini. Apa yang terjadi? Di mana dia? Suara napasnya sendiri terdengar keras di telinga, menciptakan suara gemuruh yang menambah ketidakpastian. Nalurinya bereaksi cepat; dia memanggil nama Jeremy, suaranya bergetar, penuh kecemasan yang membara.

"K-Kak Jer?" panggilnya, suara kecilnya seolah-olah terserap oleh kegelapan di sekelilingnya.

Dari sudut ruangan, dia mendengar suara yang familiar, gemetar namun menenangkan. Jeremy terbangun dari tidurnya, seolah respon instingtif terhadap panggilannya. Dia telah duduk di sampingnya selama empat jam terakhir, menggenggam tangan Alara dengan lembut. Dengan cepat, Jeremy melompat ke sisi kasur, ekspresinya campur aduk antara khawatir dan lega saat melihat Alara terbangun.

Tanpa ragu, dia meraih tubuh Alara, menariknya ke dalam pelukan yang erat. Alara merasakan kehangatan tubuh Jeremy, seolah menjadi pelindung dari segala ketakutannya. Dia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri di dalam pelukan yang membuatnya merasa aman.

"Gue di sini, sudah aman, Alara. Lo udah di tempat yang aman, gapapa, gapapa," bisik Jeremy lembut di telinganya, suaranya bergetar dengan ketulusan.

Kata-kata itu mengalir seperti aliran sungai yang menenangkan. Alara menghirup dalam-dalam, mengumpulkan keberanian di dalam diri. Dia merasakan detak jantung Jeremy, stabil dan menenangkan, seolah mengalirkan keberanian ke dalam dirinya. Meskipun ketakutan masih mencengkeram hatinya, pelukan Jeremy menjadi pelita di tengah kegelapan, membantunya untuk melepaskan beban yang mengganggu.

Saat pelukan itu menghangatkan hatinya, Alara mulai merasakan kedamaian perlahan-lahan menggantikan ketakutannya. Dia tahu, meskipun dunia di luar mungkin tidak selalu aman, ada satu tempat di mana dia bisa merasa terlindungi—di dalam pelukan Jeremy.

Aroma hangat dan harum sup ayam berkuah bening menyeruak ke seluruh ruangan, mengisi udara dengan aroma yang menenangkan, khas hidangan yang sering disajikan untuk menghangatkan tubuh orang sakit. Setiap sudut ruangan seperti dibungkus dalam kehangatan aroma tersebut, membangunkan mereka yang masih tertidur, termasuk Alara. Perlahan, matanya yang masih terasa berat mencoba terbuka, tapi bukan langit-langit kamar yang menyambut pandangannya.

Melainkan... leher seseorang?

APA APAAN INI?!, teriak Alara dalam hati, rasa panik mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menelan ludah, jantungnya berdebar-debar saat perasaan terancam menyeruak. Nalurinya menyuruhnya untuk bangkit, segera, tapi tubuhnya terasa tertahan, terkunci dalam pelukan hangat seseorang.

Seketika, suara yang sangat ia kenali membuatnya sedikit tersadar.

"Sebentar lagi, Ra. Masih terlalu pagi," bisik suara Jeremy, lembut namun terdengar sangat jelas di telinganya.

Alara membeku, jantungnya semakin berdetak kencang. Jeremy yang selama ini ia anggap selalu menjaga jarak kini justru mengeratkan pelukannya, seakan takut kalau Alara akan pergi. Tubuhnya terasa lebih tenang di dalam dekapan Jeremy, meski hatinya masih diwarnai dengan kepanikan yang perlahan bercampur rasa nyaman. Alara tak bisa mengendalikan rasa berdesir yang menjalar di tubuhnya saat mendengar suaranya begitu dekat dan merasakan kehangatan pelukan itu.

Alara mencoba bernapas lebih tenang, namun tidak bisa mengabaikan getaran halus yang melintasi hatinya setiap kali Jeremy mendekapnya lebih erat. Di luar, aroma sup yang menguar seakan menjadi saksi tenangnya momen tak terduga di pagi hari yang masih terlalu dini.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang