21. Harmony of chance

3 1 0
                                    

"Jadi lo tinggal di sini?" Tanya Jeremy, melirik Alara yang menatap pantai di hadapannya dengan tatapan jauh.

Pagi itu, setelah Alara memutuskan Jeremy bisa tinggal sebentar lagi sampai keadaannya memungkinkan untuk menyetir sepedanya, keduanya duduk di tepi pantai. Suara ombak yang tenang melambai, menciptakan suasana damai yang sedikit mengalihkan perhatian Jeremy dari rasa sakit di pelipisnya. Namun, ia masih tidak mengerti kenapa dirinya terus-terusan terpukau melihat rambut Alara yang tergerai, diterpa angin pantai. Padahal ini bukan pertama kalinya.

"Iya," jawab Alara singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari cakrawala. "Namanya nenek Sarah, dia bukan nenek kandung gue. Gue sama sekali nggak inget masa kecil gue kayak gimana. Yang gue inget, mama diterima dengan baik sama nenek Sarah."

Suasana sejenak lengang, hanya terdengar suara ombak yang berkejaran dengan pasir. Jeremy merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka, seakan setiap butir pasir yang meluncur pun turut menyimpan cerita.

"Kenapa cerita ke gue kalau lo nggak percaya sama gue, Ra?" Tanya Jeremy, menatap Alara di sampingnya dengan lekat. Ia berharap bisa melihat ke dalam pikirannya, ingin mengerti lebih dalam.

Alara diam sejenak, tampak bergulat dengan jawabannya. "Capek, kak. Biar kakak pergi dan semuanya selesai."

"Lo pikir gue bakal ninggalin lo setelah tahu asal usul lo?" Jeremy membalas, suaranya sedikit lebih keras, namun tak berani menyentuh hati Alara yang sedang rapuh.

"Apalagi? Kalian bahkan nggak pernah lihat orang-orang kami layaknya manusia, kan?" kata Alara, nadanya tajam.

Jeremy ingin meneruskan pertanyaannya, tapi entah kenapa kepalanya benar-benar pusing. Dia merangsek maju, mendekat ke arah Alara. Tanpa izin, ia meletakkan kepalanya di pangkuan Alara, membiarkan beban di kepalanya sejenak hilang.

"Pusing, Ra," keluh Jeremy, memejamkan matanya, sementara peluh dingin mulai menetes di pelipis dan lehernya.

Alara membenci dirinya sendiri saat ini. Kenapa dia justru merasa sesak melihat Jeremy menderita seperti ini, terutama lagi-lagi karena dirinya? Ia ingin marah, ingin membentak agar semua ini tidak terjadi. Namun, saat melihatnya terkulai lemah, hatinya tak mampu untuk tetap keras.

"Istirahat, kak. Nanti gue bangunin," ucap Alara dengan nada lembut, meski hatinya bertanya-tanya mengapa ia mau mengalah. Ia mengusap lembut kepala Jeremy, berusaha memberikannya ketenangan yang ia sendiri sedang tidak bisa temukan. Sejenak, Alara merasakan kehangatan yang mengalir antara mereka, menjadikan momen ini sebagai pengingat bahwa di tengah kepahitan hidup, kadang ada ruang untuk saling menguatkan.

Di tepi pantai yang sunyi, keduanya terjebak dalam suasana yang membingungkan—di satu sisi ada rasa sakit dan kepedihan, sementara di sisi lain ada harapan dan ketenangan yang samar-samar hadir.

Sementara Jeremy beristirahat, Alara mengambil ponselnya, merasakan beban di dadanya. Tangan kecilnya menggenggam perangkat itu erat, seolah ingin menarik kekuatan dari dalam. Suara berdering dari ponselnya tak henti-hentinya, namun dia tahu siapa pengganti nada tersebut. Althan. Seseorang yang seharusnya menjadi kakak, tetapi lebih sering menjadi sumber kekecewaan.

Ia memberikan alasan liburan bersama Jeremy agar Althan tidak lagi menghubunginya, tapi rasanya itu tidak berpengaruh, Althan tetap menghubunginya berkali kali. Rasa cemas menggigit hati Alara saat memikirkan bagaimana ia akan menghadapi Althan, bagaimana jika dia menanyakan semuanya secara langsung? Alara merasa tidak siap.

Mendekatkan ponselnya ke wajah, ia melihat notifikasi telepon dari Althan terus muncul—sebuah pengingat akan perasaannya yang rumit. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang selanjutnya. Ia berencana untuk mematikan ponselnya agar Althan berhenti menghubunginya, tetapi matanya tertuju pada satu pesan yang berbeda.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang