35. Ephemeral Bonds

3 0 0
                                    

BRAKKK!

Punggungnya menghantam rak kayu di belakangnya dengan keras, membuat rak itu patah dan berantakan di sekelilingnya. Tubuhnya terjatuh, berusaha bangkit meskipun rasa sakit menjalar di setiap inci tubuhnya. Namun, baru saja ia mencoba berdiri, sebuah kaki menekan dadanya dengan kuat, memaksanya kembali terduduk, tersiksa dan tak berdaya.

"Gue ga mau tau, lo harus nampilin video itu!" suara di depannya memerintah dengan nada tajam, dingin tanpa ampun.

"Ta-tapi..." ia mencoba membela diri, meskipun suaranya bergetar.

"TAPI APA?!" bentaknya, matanya membara penuh kemarahan. "Gue udah bilang lo bakal aman!"

Rasa panik memenuhi dadanya. Dengan nafas tersengal, ia berusaha menjelaskan, "Kenapa lo bertekad soal ini? Lo nggak tahu sekuat apa mereka. Bukan cuma gue yang bakal kena, lo juga bisa–"

BUGHHH!

Pukulan keras menghantam pipi kirinya, memaksanya terhuyung. Rasa sakit berdenyut di pipinya yang sudah lebam, namun ia hanya bisa terdiam menahan rasa sakit yang semakin menyiksa.

"Catat omongan gue," bisik orang itu dengan suara serak penuh kebencian, mendekatkan wajahnya. "Itu cuma omong kosong. Mereka ga lebih dari pembunuh rendahan. Gue mau buktiin kalau mereka nggak sepantas itu buat dapet kehormatan."

Dengan ucapan terakhir itu, ia melangkah mundur, menuju pintu gudang yang terbuka sedikit, memperlihatkan cahaya malam yang suram. Tapi, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti, seolah teringat sesuatu, kemudian berbalik, tatapannya begitu kejam dan mengancam.

"Gue kasih lo waktu sampai malam ini," ucapnya menggeram, suaranya terdengar rendah namun mengandung ancaman yang nyata. "Jam sembilan lo belum ngasih keputusan, lo bakal tau akibatnya." Bibirnya tersenyum dingin. "Lo... atau mungkin juga keluarga lo."

Ia tertawa kecil, suara tawanya menggema di gudang yang gelap dan sunyi, terasa begitu mencekam, seolah menyelimuti setiap sudut ruangan dengan rasa takut. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan gudang, meninggalkan sosok yang kini terkulai lemah di lantai, terperangkap dalam ketakutan yang mendalam dan bayangan ancaman yang menghantui.

***

"Selamat pagi, Nona. Silahkan. Tuan besar sudah menunggu di ruangan," seorang karyawan menyambut Alara dengan sedikit berlari kecil hingga tiba di depannya, napasnya tersengal.

Alara tersenyum ramah dan mengangguk, melangkah terlebih dahulu mengikuti arahan wanita tersebut. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah, memperhatikan suasana pagi di dalam gedung yang terasa sibuk namun tetap terjaga tenang. Para pegawai berlalu lalang dengan raut serius, tapi saat Alara lewat, bisik-bisik terdengar samar dari mereka yang memperhatikannya.

"Wah, aku baru melihatnya pagi ini," bisik salah satu pegawai perempuan, suaranya pelan namun cukup terdengar oleh Alara.

"Dia sangat cantik. Kenapa Tuan Besar tidak pernah mengajaknya ke pertemuan?" balas suara lain, kagum.

"Benar, dia mirip sekali dengan Nyonya," komentar seorang lainnya.

Alara berusaha tetap tenang, meskipun bisikan-bisikan itu membuatnya sedikit canggung. Ini kali pertama dirinya muncul di hadapan publik perusahaan, sebuah hal yang baru baginya dan bagi mereka.

Setibanya di depan pintu ruangan pimpinan, wanita tadi mengetuk pintu pelan. "Tuan, Nona Alara sudah tiba."

Terdengar suara rendah dari dalam sebagai tanda persetujuan. Alara menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk dengan tenang. Meski ini sudah pertemuan kedua dengan sosok yang disebut "papa"—seseorang yang sama sekali tak dikenalnya—ia berdiri di sisi sofa, membungkuk sopan sebagai tanda penghormatan minimal yang bisa ia tunjukkan.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang