14. Unrevealed Destinies

5 1 0
                                    

Pagi itu, Alara berusaha keras untuk melupakan semua kejadian semalam. Dengan semangat baru, dia bergegas menuju mobil, berharap bisa bertemu Jeremy dan meredakan kegelisahan yang mengganggu hatinya.

Namun, begitu dia membuka pintu mobil, suaranya terhenti, terkejut melihat siapa yang duduk di kursi kemudi. Daniel, dengan wajah penuh percaya diri, mematut-matut dirinya di kaca dashboard, seolah-olah dia adalah lelaki tertampan di dunia. "LO NGAPAIN DISINI HAH?!" teriak Alara, seakan menyadarkan Daniel dari mimpinya.

"Aduh, telinga gue bocor nih," keluh Daniel sambil mengusap telinganya setelah teriakan Alara. "Gue yang anter."

"TURUN GA LO?! TURUN LO KUTU KUDA!!" Alara berusaha mendorong Daniel keluar dari kursi kemudi, tetapi usahanya sia-sia.

"WOY WOY ASTAGA WOY TENANG NAPE SIH?!" Daniel balas berteriak, menahan kedua tangan Alara yang berusaha mendorongnya. Dia tahu bahwa tenaga Alara kalah jauh, apalagi dia adalah seorang atlet. "Gue mau minta maaf soal semalem, jadi gue udah bilang om Arman kalo gue yang anter lo sekolah, gimana?"

Daniel tampak sudah menerima semua pahit kejadian semalam, dan senyum lebar mengembang di wajahnya. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, dia merasa Alara tidak lagi melawan. Anggapannya benar, dia mulai menyalakan mesin mobil.

"Gimana caranya gue tahu kalo lo mau nganterin gue? Siapa tau lo buang gue ke jurang abis ini," ujar Alara tiba-tiba, dengan nada skeptis yang mencolok.

"ELAH LO KENAPA SI ANJIR?!" teriak Daniel frustasi, seperti anak kecil yang baru saja diejek temannya. "Gini-gini, gue saudara tiri yang baik, loh!"

Alara melirik tajam ke arah Daniel, dengan tangan bersidekap, masih tidak percaya.

"Ya, gue tau sih mama gue udah jahat sama mama kalian," lanjut Daniel, dan kali ini, Alara tertegun. Dia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu. "Tapi gue sayang kok sama mama Amira, sama kaya lo dan abang Althan. Gue sayang sama mama Amira. Mama Amira baik. Dia bahkan pernah ngasih gue baju-baju abang Althan, diem-diem pastinya. Bahkan setelah mama Amira pisah sama papa, kata abang mama bilang gue masih adeknya abang."

Alara terkejut, mendengar mendiang mamanya disebut dan cara Daniel menceritakan hal itu seolah-olah itu adalah hal yang biasa untuk dibicarakan. Dia merasa seolah dikelilingi oleh perasaan campur aduk—sedih, marah, dan bingung. Semua yang dia yakini tentang keluarga dan hubungan antar mereka mulai goyah.

Mendengar tidak ada lagi penolakan dari Alara, Daniel tersenyum puas. "Ah, ternyata mudah menaklukkan hati saudara tiriku yang satu ini," pikirnya. Semakin senang, Daniel menganggap dirinya berhasil mendekatkan diri pada Alara. Bagi Daniel, yang paling penting dalam hidupnya sekarang adalah berada di sekitar orang-orang yang layak ia cintai dan yang mencintainya. Dia sangat menginginkan sosok Althan dan Alara sebagai bagian dari hidupnya, sebagai saudaranya yang sesungguhnya.

Mobil itu melaju dengan lancar menuju sekolah Alara. Namun, di tengah perjalanan, Daniel mulai merasa bosan. Si cerewet yang ditemuinya tadi malam, yang terus-menerus mengomel dan berteriak, kini diam seribu bahasa. Daniel melirik Alara, penasaran dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Lo kok jadi pendiem? Malu-malu ya sama gue?" goda Daniel, mencoba memancing reaksi. Namun, Alara hanya memberinya lirikan tajam, tak berniat menanggapi godaannya.

Daniel tidak menyerah. "Oh iya, kabar mama Amira gimana?" tanyanya lagi, berusaha membuka percakapan dengan topik yang menurutnya aman.

Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong bagi Alara. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Sesak yang sejak tadi dia coba redam kembali menyerang dadanya. Daniel belum tahu. Itu sebabnya dia bisa berbicara dengan begitu santai soal mamanya. Alara menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi kelopak matanya. Tapi keheningan yang terlalu panjang membuat Daniel kembali melirik, kali ini lebih serius.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang