Langit sore itu perlahan kehilangan cahayanya. Warna jingga yang memudar di cakrawala disapu oleh tirai gelap malam yang datang dengan tenang, seperti seseorang yang mengetuk pintu tanpa suara. Di ujung pelataran rumah, Alina duduk dalam diam, memandang senja yang meredup. Sudah menjadi kebiasaan baginya—menyambut malam dengan hati yang sepi, namun penuh harapan. Di sini, di tempat yang sama, dia selalu menunggu, seperti seorang penjaga yang setia.
Pelataran rumahnya tak pernah berubah. Lantainya yang dingin, kursi kayu yang mulai rapuh, dan bunga-bunga layu di pot-pot kecil di sudut halaman seolah ikut berbagi kesunyian. Rumah ini adalah saksi bisu penantian yang tak pernah berakhir, meski Alina tahu, tak ada jaminan bahwa penantian ini akan terbayar.
Sudah tiga tahun sejak Niskala, anak semata wayangnya, pergi meninggalkan rumah. Kepergian Niskala awalnya adalah sebuah kebanggaan—anaknya merantau demi pendidikan, demi masa depan yang lebih baik. Alina mengerti, meskipun hatinya tersayat oleh perpisahan. Ia melepas Niskala dengan senyuman, namun setiap kali malam tiba, air mata rindu mulai hadir tanpa undangan. Setiap detik terasa panjang, setiap malam menjadi berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Short Story"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...