Di suatu malam beberapa tahun yang lalu, Niskala pernah berjanji akan pulang. Janji yang begitu manis, begitu meyakinkan. Tapi seiring berjalannya waktu, janji itu semakin terasa jauh, seperti bintang yang redup di langit malam. Alina mengerti, Niskala punya impian yang besar, dunia yang harus ia taklukkan. Tapi di sisi lain, ada sebuah kenyataan yang tak bisa diabaikan—kenyataan bahwa Alina semakin tua, dan harapannya untuk melihat Niskala pulang semakin pudar.
Alina melangkah menuju kursi tua di pelataran, tempat ia biasa duduk dan menunggu. Kursi itu, dengan segala goresan dan retak yang menghiasinya, telah menjadi saksi bisu dari setiap malam penuh harap yang ia lalui. Duduk di sana, memandangi langit malam yang tak berubah, Alina merasa seolah dirinya hanyalah serpihan kecil dalam semesta yang begitu luas dan tak peduli.
"Waktu berlalu begitu cepat," gumamnya. "Dan kita... hanya manusia yang terikat oleh jarak dan kesunyian."
Ia kembali memandang bulan. Di malam ini, bulan tidak tampak secerah biasanya. Awan gelap bergerak perlahan, menyelimuti cahayanya, seolah menyembunyikan harapan yang selama ini Alina titipkan di sana. Bulan yang dulu menjadi teman setia kini terasa begitu jauh, tak lagi menawarkan penghiburan seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Historia Corta"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...