Chapter 2.16: Bayang-Bayang yang Tak Kembali

3 0 0
                                    

Alina masih duduk di kursi kayu tuanya, mata terpejam, mendengarkan angin yang terus berhembus perlahan. Suara-suara malam yang berbisik seolah memperkuat kekosongan di hatinya. Bayang-bayang pohon di halaman depan bergoyang halus, menyelimuti pelataran dengan gelap dan terang yang silih berganti. Setiap kali angin menyapu wajahnya, seakan membawa kenangan yang samar, memori tentang Niskala yang perlahan-lahan mulai menjauh.

Bayang-bayang Niskala, baik dalam bentuk anak kecil yang riang maupun perempuan dewasa yang penuh tekad, hadir dan pergi dalam pikirannya. Terkadang Alina merasa sangat dekat dengan kenangan itu, seolah Niskala hanya bersembunyi di balik pintu rumah, menunggu untuk keluar dan memberikan kejutan. Namun, perasaan itu segera lenyap seperti embun pagi yang menghilang di bawah terik matahari.

Setiap malam, ia selalu bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah Niskala masih memikirkan ibu?" Pertanyaan itu terus menggema dalam benaknya, namun tak pernah ada jawaban yang pasti. Hanya keheningan, yang terkadang terasa lebih menyakitkan daripada rindu itu sendiri.

Hari-hari yang telah berlalu terasa begitu jauh, seperti lembaran-lembaran waktu yang sudah usang. Alina sering kali memutar kembali kenangan-kenangan itu di pikirannya, berharap bisa menemukan momen di mana semuanya berubah, saat Niskala memutuskan untuk pergi. Dia ingat jelas hari perpisahan itu—senyum Niskala yang canggung saat berpamitan, pelukan hangat namun terasa singkat, dan kata-kata yang terasa setengah hati.

"Ibu, aku akan segera pulang," janji Niskala di hari itu. Tetapi, hari-hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Waktu terus berjalan, namun Niskala tak pernah kembali.

Malam semakin larut, dan bulan mulai tersembunyi di balik awan tipis. Suara burung hantu dari kejauhan menambah sunyi malam itu, seakan memberi tanda bahwa dunia luar sedang beristirahat. Tetapi Alina tidak pernah benar-benar beristirahat. Fisiknya mungkin lelah, tetapi hatinya terus bekerja—mengolah rasa rindu, menciptakan harapan-harapan kecil yang setiap hari ia gantungkan pada bulan.

Bulan yang Menunggu di Pelataran MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang