Mata Alina menelusuri kalimat itu, membaca kata-kata yang seolah memiliki nyawa sendiri. Janji pulang yang kini terasa seperti angin—pernah ada, tetapi tak pernah tiba. Setiap kali membaca surat itu, Alina selalu membayangkan bahwa Niskala benar-benar akan datang, menepati janjinya. Namun kenyataan berbicara lain; Niskala tak pernah pulang.
"Apa yang menahanmu di sana, Niskala?" Alina bertanya pada surat itu, meskipun ia tahu tak akan ada jawaban.
Malam semakin larut, dan bulan pun semakin tinggi di langit, seakan menyaksikan keheningan yang tak pernah terpecahkan. Dalam kesendiriannya, Alina menghela napas panjang. Meski keraguan mulai merayap ke dalam hatinya, ia tahu bahwa harapan, betapapun rapuhnya, masih menjadi satu-satunya teman yang setia.
Meski jarak semakin jauh, dan waktu terus menggerus kenangan, Alina tak bisa menyerah pada rasa rindunya. Setiap malam ia akan terus menanti di pelataran itu, menunggu bayang-bayang Niskala yang tak pernah kembali.
Sementara malam semakin larut, Alina masih berdiri di samping jendela, merasakan angin dingin yang masuk perlahan. Bayang-bayang pohon di halaman tampak bergoyang pelan, seolah menari di bawah cahaya bulan yang samar. Suara malam begitu akrab, namun di balik kesunyian itu, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Rindu yang selama ini ia rasakan tak lagi terasa ringan; kini, ia berubah menjadi beban yang semakin sulit ditanggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam
Historia Corta"Bulan yang Menunggu di Pelataran Malam" adalah kisah penuh keheningan dan kerinduan yang mendalam antara seorang ibu dan anak perempuannya. Alina, seorang ibu yang penuh cinta, hidup dalam kesendirian setelah anaknya, Niskala, pergi merantau ke neg...